Kamis, 24 Januari 2013

Meredam konflik sosial dengan Bhineka Tunggal Ika

Indonesia, negara yang diberkati dengan keanekaragaman sosio-kultural terbesar di dunia. Hal tersebut dapat menjadi modal dalam membangun bangsa menjadi bangsa yang besar dan luhur apabila segenap bangsa Indonesia mampu mengelola perbedaan tersebut dengan baik. Namun apabila keanekaragaman tersebut tidak dikelola dengan baik, maka hal ini akan menjadi sumber kehancuran bagi bangsa Indonesia. Bangsa yang sangat beraneka ragam akan budaya, adat istiadat, agama, suku, ras, etnis, dan bahasa, sempat mengundang decak kagum negara-negara di dunia beberapa dasa warsa yang lalu karena di tengah kondisi yang begitu beraneka ragam, bangsa Indonesia mampu hidup rukun dan bersatu dalam bingkai Bhineka Tunggal Ika. Namun beberapa tahun saat ini, semangat persatuan tersebut semakin luntur di tengah kehidupan bangsa Indonesia dengan semakin maraknya konflik-konflik sosial yang dilatar belakangi permasalahan suku, etnis dan agama. Tengoklah beberapa tragedi yang membuat miris hati kita, seperti tragedi di Poso, Ambon, Sampit, Cikeusik, kasus bentrok lampung yang belum lama ini terjadi yang menewaskan belasan orang dan begitu banyak kasus-kasus bentrok antar warga serta bentrok antar pelajar atau mahasiswa. Kasus-kasus tersebut mengindikasikan semakin ditinggalkannya semangat persatuan di dalam perbedaan yang dirintis oleh founding fathers NKRI dalam semangat Bhineka Tunggal Ika.

Dalam rangka upaya membagkitkan kembali semangat persatuan dan kesatuan, maka perlu upaya dari berbagai lini kehidupan manusia, mulai dari pendidikan, ekonomi, politik, sosial budaya dan agama dan hal ini bukanlah hanya tanggung jawab pemerintah namun juga tanggung jawab semua komponen masyarakat negeri ini. Ke semua sendi-sendi kehidupan manusia tersebut harus bersinergi satu sama lain dengan semangat akan nilai-nilai yang terkandung dalam Bhineka Tunggal Ika.

Pendidikan misalnya, salah satu konsep pendidikan yang dapat ditawarkan adalah pendidikan yang berbasis multikultural. Dalam konsep pendidikan multikultural, maka pendidikan tidak hanya sebgai lembaga yang hanya mencetak manusia yang memiliki intelektualitas yang mumpuni namun juga manusia yang memiliki tingkat kesadaran yang tinggi dalam memandang berbagai perbedaan untuk saling menghargai dan menghormati. Maka dalam pelaksanaannya, proses pendidikan harus memperhatikan berbagai perbedaan yang dimiliki oleh para peserta didik, seperti perbedaan suku, ras, etnis, agama, umur, bakat, minat, dan kecepatan dalam menyerap informasi. Perbedaa-perbedaan yang ada pada peserta didik tersebut harus menjadi salah satu pertimbangan dalam penyusunan kurikulum di sekolah-sekolah agar out-put yang dihasilkan oleh lembaga pendidikan merupakan pribadi-pribadi yang memiliki sifat humanis, pluralis, dan demokratis sehingga mereka dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dapat menghormati dan menghargai perbedaan dirinya dengan orang lain.

Dalam kehidupan beragama, salah satu konsep yang dapat kita terapkan dalam membina kerukunan hidup berbangsa yakni konsep Agree in disagreement, setuju dalam ketidaksetujuan atau sepakat dalam perbedaan. Konsep tersebut merupakan buah pemikiran salah satu pemikir pembaruan dunia Islam di Indonesia yakni Mukti Ali yang didasari atas ragamnya budaya dan agama di Inonesia, yang dilandasi pemahaman beliau secara mendalam terhadap teks-teks keagamaan dan nilai-nilai fundamental agama. Dalam pandangannya tersebut, beliau mencetuskan tiga bentuk kerukunan hidup beragama yang biasa kita sebut trilogi kerukunan hidup beragama.

Pertama, kerukunan antar umat seagama. Dalam satu agama, terdapat banyak kelompok yang berbeda-beda, misalnya dalam Islam terdapat 4 mazhab besar, di Indonesia sendiri terdapat Muhammadiyah, NU, Masyumi, dan lain sebagainya. Begitu juga umat agama non Islam yang memiliki perbedaan di dalam agama mereka. Menurut Mukti Ali, adanya perbedaan dalam satu agama dapat memicu adanya perselisihan yang bahkan sering berujung pada perpecahan antarumat seagama apabila perbedaan-perbedaan tersebut tidak dikelola secara baik.

Kedua, kerukunan antar umat berbeda agama. Di belahan dunia manapun, konflik agama pernah terjadi tidak terkecuali di Indonesia. Masih teringat jelas di benak kita akan ganasnya tragedi Poso dan Ambon yang menjadi sejarah kelam Indonesia dalam merajut kerukunan antar umat berbeda beragama. Itu adalah fakta apabila perbedaan agama tidak disikapi dengan saling menghargai dan menghormati maka akan timbul konflik-konflik semacam itu. Maka sudah suatu kewajiban bagi para penganut agamanya masing-masing untuk dapat hidup berdampingan secara rukun dan damai dengan penganut agama yang lain.

Ketiga, kerukunan umat beragama dengan pemerintah. Antara umat beragama dengan pemerintah sangat penting sekali menjalin hubungan yang harmonis, agar para penganut agama masing-masing dapat menjalankan ritual-ritual keagamaan mereka dengan perasaan aman, damai dan terjamin. Berkaitan dengan hal ini Mukti Ali menyatakan bahwa negara indonesia bukanlah negara teokrasi dan bukan pula negara sekuler.

Dengan menerapkan ketiga hal tersebut, maka akan terciptalah kerukunan antar umat seagama, antar umat berbeda agama, dan antara umat beragama dengan pemerintah. Apabila ketiga hal tersebut dijalankan oleh masyarakat Indonesia, maka akan dipastikan dapat meredam berbagai konflik agama yang mendera bangsa Indonesia. Pada akhirnya, setiap warga negara dapat menjalankan aktivitas keagamaan mereka dengan perasaan aman dan damai.

Sumber :
http://sosbud.kompasiana.com/2012/11/09/meredam-konflik-sosial-dengan-bhineka-tunggal-ika-507821.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar