Selasa, 08 Januari 2013

keluarga lebih penting dari sekedar emansipasi




Kata emansipasi wanita sudah menjadi hal yang lazim di negeri ini. Banyak perempuan yang bekerja dan mengisi jabatan yang dulu hanya dimonopoli oleh laki-laki. Pemerataan pendidikan telah melahirkan banyak tenaga wanita terdidik untuk menjawab kebutuhan sumber daya manusia di pasar tenaga kerja. Apalagi jika dilihat dari proporsi jumlah penduduk pria dan wanita yang kurang lebih sama besar, tentunya ini adalah potensi yang sangat besar dan tidak bisa disia-siakan. Bayangkan seandainya seluruh wanita di negeri ini menganggur, maka yang bekerja hanya separuh dari jumlah penduduk. Tentu saja ini adalah kondisi perekonomian yang sangat pincang.

Gerakan emansipasi wanita pada mulanya terlahir dari negara-negara di wilayah barat. Hal tersebut lahir sebagai akibat dari pemerataan pendidikan dan revolusi industri. Pada saat itu banyak tenaga kerja wanita yang dibayar lebih murah dari pekerja laki-laki. Hal ini banyak membuat perusahaan lebih memprioritaskan tenaga kerja wanita untuk menggantikan pekerja laki-laki demi memangkas biaya operasional. Puncaknya terjadi pada saat perang dunia kedua yang mana laki-laki lebih banyak maju ke medan perang. Otomatis berbagai kekosongan jabatan atau pekerjaan yang biasa dilakukan oleh laki-laki harus diserahkan sepenuhnya kepada wanita. Lambat laun kondisi tersebut menumbuhkan kepercayaan diri kepada para wanita untuk hidup mandiri tanpa ketergantungan laki-laki. Mereka mulai merasa yakin dapat menduduki segala posisi apapun yang mulanya hanya dikerjakan oleh laki-laki saja.

Banyaknya keuntungan yang didapat dari emansipasi wanita bukan berarti tanpa kekurangan. Kedua orang tua yang bekerja, apalagi kalau sama-sama sering lembur, membuat perhatian kepada anak menjadi terbengkalai. Padahal pada periode tersebutlah pembentukan jati diri menjadi sangat penting. Sering orang tua baru menyadari belakangan ketika sang anak sudah beranjak dewasa. Pada saat itu kepribadiannya sudah terbentuk dengan sendirinya sehingga sangat sulit bagi orang tua mengharapkan anaknya seperti yang mereka inginkan.

Menyerahkan sang anak sepenuhnya kepada pihak lain bukanlah sebuah jawaban sekalipun mereka adalah tenaga profesional. Mereka hanya menjamin bahwa anak kita akan diurus dalam kondisi yang sehat, sementara itu ada nilai-nilai keluarga mengenai benar atau salah yang tidak diajarkan oleh mereka. Orang tualah yang bertanggung jawab sepenuhnya pada tumbuh kembang anak, bukan pihak lain. Setiap ada masalah pada anak, dari mulai tindakan kekerasan hingga narkoba, selalu yang menjadi pesan adalah pentingnya pengawasan orang tua, bukan pengawasan pembantu. Di sinilah peran orang tua begitu penting karena nilai kasih sayang dan kedekatan emosional merupakan nilai yang patut dimiliki namun sulit untuk diukur. Hal ini sangat berbeda dengan tingkat kecerdasan anak yang bisa kita lihat dari nilai akademis di sekolah.

Maraknya pengasuh yang tidak bertanggung jawab semakin memperparah kondisi anak yang jauh dari orang tua. Mereka bisa bertindak secara aktif melakukan penyiksaan terhadap anak ataupun secara pasif dengan selalu memberi obat tidur pada balita untuk memudahkan pekerjaan mereka. Tantangan ke depan bagi kehidupan sehari-hari seorang anak tidak kalah hebatnya. Munculnya kasus penculikan dan pencabulan pada anak di bawah umur membuat pengawasan terhadap anak harus makin diperketat. Terlebih lagi anak yang mulai beranjak dewasa juga rawan akan tindakan kekerasan dan terjerumus ke narkoba.

Sisi negatif lain dari emansipasi wanita adalah mudahnya terjadi perceraian. Sifat wanita yang mulai mandiri tanpa adanya ketergantungan dengan laki-laki membuat kemungkinan untuk bercerai semakin besar. Kadang-kadang hanya karena ada masalah sepele seperti tidak ada kesamaan visi misalnya, membuat sebuah keluarga dilanda perceraian. Tentunya yang akan dikorbankan adalah sang anak. Mereka tidak dapat berkembang dengan baik karena adanya perpecahan dalam keluarga. Bukan tidak mungkin sang anak akan mengikuti jejak orang tuanya melakukan kawin cerai dengan alasan hal tersebut sudah menjadi lumrah bagi kehidupannya. Secara jangka panjang, nilai-nilai keutuhan keluarga akan semakin memudar yang pada akhirnya dapat membahayakan kehidupan sosial masyarakat.

Tidak dapat dipungkiri pula bahwa perceraian sering timbul karena adanya kasus Kekerasan Dalam rumah tangga (KDRT). Sebenarnya tindakan KDRT yang berakhir dengan perceraian sudah ada sejak jaman dahulu kala, tetapi jumlah perceraian pada masa kini tetap jauh lebih banyak. Entah karena waktu itu perempuan masih sangat tergantung pada laki-laki atau karena sang ibu masih menjunjung tinggi keutuhan keluarga jadi rela demi sang anak sang ibu harus menderita. Apapun jalan yang dipilih, apakah tetap bersama atau bercerai, kepentingan anak harus dinomorsatukan. Kadang-kadang aktivis perempuan juga terlalu berlebih-lebihan membela kepentingan sang ibu yang dengan mudahnya menuntut secara hukum sang suami dan menyarankan perceraian hanya karena masalah sepele. Hendaknya keutuhan keluarga tetap menjadi prioritas bagi aktivis perlindungan perempuan karena ini berkaitan pula dengan kepentingan anak, jadi tidak hanya melulu kepentingan individu sang istri.

Anak yang tidak terurus dan semakin maraknya perceraian dapat menjadi sumber pecahnya fondasi keluarga. Keutuhan keluarga sangatlah penting karena dari keluargalah dimulainya generasi baru pengisi masa depan. Dampak hancurnya sistem keluarga terhadap keberlangsungan suatu bangsa tidak dapat kita lihat pada saat ini, tetapi baru terasa pada jangka panjang. Atas dasar inilah pemerintah sangat berkepentingan untuk menjamin tetap utuhnya sistem keluarga dalam suatu negara. Sesuatu yang sering diprotes oleh banyak orang karena dianggap terlalu mencampuri urusan pribadi penduduknya. Suka atau tidak suka pemerintah memang bertanggung jawab menjaga keutuhan bangsa baik untuk saat ini maupun keberlangsungan di masa yang akan datang. Sebagai contoh dapat kita lihat usaha dari pemerintah di negara-negara maju yang memberikan insentif bagi penduduknya yang ingin memiliki anak dan membina sebuah keluarga. Tentunya mereka sadar jika semakin sedikit keluarga yang terbentuk, maka suatu bangsa dapat terancam kehancuran. Mereka tidak hancur karena serangan dari luar, tetapi hilangnya suatu generasi untuk menggantikan generasi sebelumnya.

Contoh nyata dari gejala kehilangan generasi dapat terlihat pada negara-negara Eropa dengan Jerman salah satunya. Negara Jerman banyak menerima imigran dari Turki dan Asia lainnya untuk mengisi kekosongan tenaga kerja akibat kehilangan generasi. Dari mulai buruh sampai pemain sepakbola telah diisi oleh imigran dari luar. Masalah yang kemudian timbul adalah para pendatang tersebut membawa budaya dari tempat asal mereka ke tempat yang baru yang pada akhirnya menimbulkan pergesekan terhadap budaya lokal. Suatu kondisi yang sangat memprihatinkan dan bisa menjadi lebih buruk jika proses penghilangan generasi ini terus berlangsung. Bayangkan negara Jerman di masa yang akan datang di mana mayoritas penduduknya adalah keturunan Turki atau Asia dengan sedikit penduduk asli yang berambut pirang. Tentunya kita tidak ingin hal tersebut terjadi pada negara kita.

Pentingnya sebuah keluarga pada akhirnya menuntut seorang ibu untuk berperan ganda, baik itu sebagai pengasuh maupun pekerja. Munculnya peran ganda tersebut membuat seorang ibu harus cerdik dalam memilih-milih pekerjaan. Mereka harus menjauhi pekerjaan yang terlalu banyak lembur untuk menjaga keseimbangan waktu antara pekerjaan dan anak. Akan lebih baik lagi jika mereka bekerja pada pekerjaan paruh waktu seperti mengajar atau membuat kerajinan rumahan. Apalagi prinsip dari sebagian besar wanita Indonesia masih beranggapan bahwa laki-laki bekerja untuk menghidupi keluarganya sementara wanita bekerja untuk kebutuhannya sendiri.

Dengan semakin sedikitnya waktu pertemuan dengan anak pada ibu yang bekerja membuat hubungan harus lebih didasarkan pada kualitas ketimbang kuantitas pertemuan. Dengan semakin tingginya kualitas hubungan ibu dan anak diharapkan dapat menutupi waktu mereka yang jauh lebih singkat. Tidak dapat dipungkiri pula bahwa kasus salah didik anak juga terjadi pada ibu rumah tangga yang tidak bekerja. Walaupun sang ibu tidak bekerja, tetapi jika tidak peduli dengan anak maka hasilnya akan sama buruknya.

Dengan semakin pesatnya perkembangan teknologi memungkinkan orang dapat berhubungan di mana saja. Seorang ibu dapat selalu mengontrol keadaan anaknya di manapun dan kapan pun. Munculnya konsep kerja virtual dapat membantu ibu-ibu untuk dapat bekerja sekalipun itu dilakukan di rumah. Tentunya hal ini bukan merupakan suatu khayalan di masa yang akan datang. Pelan tapi pasti kita harus mulai melupakan konsep lama tentang emansipasi di mana wanita yang sukses itu bekerja di gedung perkantoran yang besar, sering lembur pulang malam dan jarang bertemu dengan anaknya. Apabila tren yang saya sebut sebagai e-mansipasi ini terus berkembang, tentunya dapat menjadi solusi yang baik bagi pekerja wanita yang berkeluarga. Sementara proses tersebut terus berkembang, saat ini sudah selayaknya perusahaan-perusahaan kita menyediakan ruang untuk tempat pengasuhan anak maupun tempat untuk menyusui. Dengan adanya kewajiban ini diharapkan kewajiban bagi sang ibu untuk mengasuh anaknya dapat tetap terpenuhi sekalipun ia sedang bekerja.




 Mengenai kasus perceraian yang sering terjadi akibat adanya emansipasi menuntut bagi tiap-tiap pasangan menciptakan ketergantungan baru selain uang. Rasa saling ketergantungan harus tetap ada untuk menjamin keutuhan dalam sebuah keluarga. Kita juga harus lebih bijak dalam memilih pasangan dengan menerapkan kearifan para pendahulu kita. Saat ini betapa mudahnya orang untuk menikah tanpa melihat latar belakang pasangannya. Seolah-olah semuanya tertutupi oleh rasa cinta dan menganggap semuanya dapat dilalui bersama. Seiring dengan berjalannya waktu ketika muncul ketidaksepahaman, maka dengan mudahnya mereka bercerai. Sebenarnya sungguh aneh jika mereka sudah menikah sedemikian lama tetapi harus bercerai setelah sadar bahwa jalan hidup mereka berbeda. Sesuatu yang harusnya sudah disepakati jauh hari sebelum mereka menikah.

Konsep di negeri barat yang menganggap bahwa kawin cerai itu biasa dan seorang anak masih bisa mendapatkan kasih sayang kedua orang tuanya bukan berarti tanpa kekurangan. Memang benar seseorang anak dapat tinggal dengan salah satu orang tuanya, ibunya misalnya, dan sesekali menghabiskan waktu bersama ayahnya. Dalam kondisi tersebut, sang anak hanya secara fisik bertemu dengan kedua orang tuanya. Tidak ada nilai-nilai yang ditanamkan kepada anaknya karena mereka sudah menjadi keluarga yang berbeda. Begitu juga bagi orang tuanya yang sudah berpisah, tidak ada tanggung jawab bagi mereka untuk mengajarkan nilai-nilai tersebut kepada anaknya. Masing-masing saling lepas tangan. Dalam kondisi yang terpecah tersebut juga dapat membuat seorang anak tidak memiliki rasa hormat lagi pada orang tuanya.

Negara barat termasuk Amerika menjadi besar karena para pendahulunya yang menanamkan pentingnya arti sebuah keluarga. Tetapi ketika nilai ini semakin memudar, maka kehancuranlah yang akan mereka dapatkan. Ekonomi mereka yang terpuruk adalah sebagai hasil dari keserakahan. Hal ini terjadi akibat hilangnya nilai-nilai yang diajarkan pada sebuah keluarga. Patut pula disadari bahwa kemajuan suatu bangsa dapat dilihat pada generasi sebelumnya karena merekalah yang membangun suatu bangsa hingga menjadi negara yang besar. Generasi yang sekarang hanya tinggal memanfaatkannya atau malah bisa menghancurkannya. Salah besar kalau kita berpikir bahwa untuk menjadi negara maju kita harus meniru nilai-nilai generasi mereka yang sekarang. Yang terjadi adalah kehancuran bagi kita sendiri karena terperosok kebdalam lubang bersama-sama dengan mereka.

Pada akhirnya proses penghilangan generasi sebagai akibat dari runtuhnya keluarga dapat terjadi tanpa disadari. Kejadian ini bukan kejadian sesaat seperti genosida yang mana terjadi pembantaian massal untuk menghapus generasi suatu bangsa. Proses penghilangan generasi bergerak secara perlahan dalam waktu lama dan solusi perbaikannya juga membutuhkan waktu yang sangat lama. Kita perlu lebih memahami tentang pentingnya keutuhan sebuah keluarga ketika kondisi yang sekarang belum benar-benar jatuh. Jika sudah jatuh, maka perbaikannya membutuhkan waktu yang sangat lama. Untuk itulah diperlukan emansipasi wanita yang terkendali dengan tetap menjaga keutuhan keluarga. Pemberdayaan perempuan untuk meningkatkan ekonomi suatu negara jangan sampai mengorbankan keluarga yang sangat penting untuk pertumbuhan ekonomi di masa yang akan datang dan keberlangsungan suatu bangsa.

Sumber :
http://lifestyle.kompasiana.com/urban/2012/03/23/keluarga-lebih-penting-daripada-emansipasi-447016.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar