KEMISKINAN DAN HEGEMONI
MUNGKIN ketika anda membaca sekilas tentang kata kemiskinan diatas yang menjadi judul artikel ini, ada sebuah perasaan atau pikiran kuat yang kemudian mengartikan adanya sebuah arti tentang ketidakmampuan, ketidakberdayaan, dan kelemahan atau bahkan sebuah nasib yang melekat kepada seorang manusia yang kurang beruntung. Ya, begitu banyak konotasi minus yang bisa diartikan dari kata diatas. Secara teori, kemiskinan adalah sebuah keadaan yang sedang terjadi karena adanya sebuah keterbatasan dalam mencapai taraf kepuasan fisik maupun non fisik yang dialami oleh satu atau golongan manusia dalam mencapai taraf kehidupannya yang sempurna. Hampir bisa dipastikan, bahwa tidak ada satu manusia pun yang hidup di dunia ini menyenangi dengan keadaan seperti dijelaskan diatas. Hampir pasti semua manusia menginginkan sebuah keadaan dimana segala kebutuhan fisik maupun non fisik dapat terpenuhi.
Kemiskinan, semenjak peradaban manusia mengenal tolak ukur hegemoni kehidupannya adalah sebuah momok nasib yang sangat dihindari. Ada banyak persepsi yang menghubungkan suatu keadaan dimana seorang manusia bisa dikategorikan miskin, tentu saja hal ini bukan saja terlihat dari aspek ekonomi belaka, ada aspek budaya, moral, pengetahuan, sumberdaya, dan sebagainya. Banyak orang yang berpersepsi ketika mendengar dan menyebut kata ini, seakan akan hal itu adalah sebuah keadaan yang harus diterima oleh manusia yang bersangkutan, dan kemiskinan selalu dianggap sebagai ekses (baca:imbas) dari adanya satu golongan yang lebih kaya, lebih bisa, dan lebih mampu dari orang yang lebih miskin, lebih lemah dan lebih terbatas dalam taraf pencapaian kepuasan kehidupannya. Celakanya, terkadang adanya anggapan tersebut menjadi pembenaran dalam melakukan kesewenangan perilaku, pelanggaran nilai keadilan, atau bahkan penindasan oleh satu manusia kepada manusia lainnya. Dalam prinsip nilai kemanusiaan dan solidaritas, tidak ada satu pun alasan yang bisa membenarkan segala tindakan yang merendahkan derajat nilai penghormatan manusia antar manusia lainnya dari adanya ekses perbedaan tersebut.
Betapa jika direnungkan dengan realita yang sedang populis saat ini, dimana kemiskinan menjadi sebuah real factual yang mesti dihadapi oleh segenap umat manusia. Tentu saja bukan hanya kemiskinan pencapaian taraf ekonomi saja, namun bangsa Indonesia saat ini dihadapkan kepada kemiskinan moral yang akut, kemiskinan derajat kemajuan IPTEK , dan kemiskinan kedaulatan bangsa. Bangsa ini dihadapkan kepada persoalan yang serius yang terus menerus menjadi buaian perilaku minus pemerintah terhadap warganya, eksekutif kepada rakyatnya, kaum capital kepada pekerja buruhnya.
Dari bidang ekonomi sampai dengan pendidikan pun, harus kita sadari Bangsa Indonesia saat ini telah terjerumus system kemafiaan atau system jual beli (Komersialisasi) yang dominan, dimana peran tolak ukur nilai kesejahteraan yang lebih kuat dapat lebih leluasa memutuskan keadaan. Masih di ingat oleh penulis dalam beberapa bulan kebelakang, ada salah satu Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri, yang mewajibkan pemilikan notebook/laptop bagi setiap siswa yang baru mendaftarkan diri, atau beberapa sekolah yang membebankan tarif sangat tinggi kepada orang tua calon siswa yang akan mendaftar di sekolah yang berstatus RSBI (Rintisan Sekolah Berstandar Internasional ) dan alasan pihak sekolah saat itu, mahalnya biaya tersebut untuk menutupi biaya operasional sekolah yang tinggi, padahal sebenarnya beban biaya sekolah – sekolah tersebut ditanggung oleh dana kompensasi Pendidikan yang bersumber dari APBD dan APBN yang besaran nominalnya tak sedikit.
Ketika melihat realita diatas, dimana sense of justice yang bisa diperoleh warga negara, kemanakah jaminan pemenuhan hak bagi rakyat miskin, bahkan dalam memperoleh jaminan penyelenggaraan pendidikan saja sangat terbatasi oleh pengkotakan kemampuan ekonomi (bukan kemampuan otak). Ironis memang, ketika Bangsa ini yang secara teori dan persepsi seharusnya adalah Negara yang berdaulat dan merdeka namun belum mampu menyelenggarakan kemerdekaan apalagi menjamin kedaulatan hidup yang hakiki bagi golongan warganya yang tersingkirkan (warga marginal).
Bangsa ini masih terus membutuhkan sumbangsih pembelaan terhadap warga marginal yang tidak tercapai hak-haknya, siapa lagi jika bukan kita yang mengetahui dan wajib mengerti tentang kewajibannya terhadap nilai kemanusiaan melalui penyadaran dan pendewasaan nilai-nilai kerakyatan. Dijelaskan oleh Martin Luther King Jr (seorang aktivis Hak sipil dan Peraih nobel perdamaian tahun 1964, berkewarganegaraan Amerika serikat) bahwa Kemerdekaan tidak diberikan begitu saja oleh pihak penindas, karena itu sang tertindaslah yang harus memperjuangkannya. Ketika ada sebuah keadaan dimana letak perbedaan pencapaian nasib kehidupan seseorang semakin mengemuka, bukan berarti keadaan tersebut dijadikan control parts of hegemonies ( Alat Kontrol Hegemoni ) dalam menentukan baik buruk kehidupan orang lain.(Awan)
Tanggapan :
Dengan berbagai perkembangan Ilmu Pengetahuan Teknologi atau IPTEK saat ini dapat menimbulkan beberapa permasalahan dalam masyarakat, diantaranya adalah adanya kesenjangan sosial diantara masyarakat. Kesenjangan antara si kaya dan si miskin, karena pada realitanya pada saat ini di Indonesia, yang bisa menikmati IPTEK hanyalah orang yang kaya atau paling tidak sederhana. Sehingga jangankan si 'Miskin' bisa menikmati fasilitas IPTEK yang saat ini berkembang , mengerti saja tidak. Tentunya ini akan meningkatkan kekontrasan di lingkungan antara masyarakat yang kaya dan masyarakat yang miskin.
Sumber :
http://politik.kompasiana.com/2011/11/09/kemiskinan-dan-hegemoni-411057.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar