Ketika agama tidak lagi berada dalam struktur sosial di masyarakat, sebuah pertanyaan menarik akan muncul: apakah struktur sosial di masyarakat akan runtuh? Apakah agama memiliki peranan yang sedemikian besar sehingga memiliki dampak signifikan terhadap masyarakat?
Tidak perlunya agama
Karl Marx menyatakan bahwa agama itu adalah candu rakyat. Ketika individu-individu teralienasi dari struktur sosial, mereka bisa lari untuk mencari ketenangan yang ditawarkan oleh agama. Disini, peran agama terlihat begitu sacral dan nampak tidak bisa dipisahkan dari masyarakat.
Permasalahannya, jika Marx berbicara tentang persaingan antar-kelas dalam struktur masyarakat maka dan orang-orang yang teralienasi tersebut berhasil berjuang serta mendapatkan persamaan melalui sebuah gerakan sosialis –misalnya,- maka agama nampak tidak lagi dibutuhkan dan tempat sandaran itu lama-kelamaan akan hilang karena orang-orang tidak lagi perlu untuk mencari sebuah tempat perlindungan diri yang absolut. Nampaknya, agama akan bisa dengan segera lenyap jika perjuangan kelas ala Marx ini sangat berhasil dan ideal menurut asumsi-asumsinya sendiri.
Dalam hal ini, jika agama lenyap, maka struktur masyarakat tidak akan hancur. Kelenyapan agama dari dunia ini justru seperti sebuah hal yang imperatif sebab rakyat tidak perlu lagi untuk disuguhkan dengan candu semacam itu. Yang diperlukan adalah sebuah perjuangan kelas dan individu-individu akan kembali menemukan jati dirinya sendiri dalam keadaan yang tidak teralienasi.
Kehancuran agama juga didukung oleh pihak-pihak yang mengiblatkan diri pada rasionalitas yang utuh. Materialisme cukup untuk menjatuhkan teori ex nihilo dan menganggap bahwa semua yang berada di luar dimensi fisik itu sama sekali tidak nyata. Dualisme tubuh dan jiwa yang dianut filsuf sekelas Rene Descartes dianggap tidak mumpuni sebab pertanyaan tentang sesuatu yang imaterial itu sama sekali tidak dapat dinalar.
Dalam hal ini, sejauh segala sesuatunya bisa dijelaskan dengan nalar, agama tidak akan lagi dibutuhkan. Kehadiran Tuhan dapat ditiadakan sebab sains akan menjawab segala sesuatunya termasuk melalui ujung tombak neurosains yang mencoba menjelaskan ranah afeksivitas (yang bersiat imaterial) dari sudut pandang materi yang ada di dalam otak.
Perekat sosial dan masalah yang moral dan yang etis
Namun kehancuran agama seperti ini tidak serta-merta didukung banyak pihak. Agama dinilai memberikan sebuah identitas kolektif yang melekat erat pada setiap individu yang berkelompok di bawah sebuah panji agama yang sama. Oleh karena itu, agama dalam hal ini merupakan sebuah perekat sosial. Agama adalah sebuah binding agent yang akan membuat individu-individu merasa menjadi satu dan terorganisasi dengan sangat baik.
Identitas kolektif ini akan memberikan warna tersendiri dari kemajemukkan identitas yang dimiliki oleh setiap individu. Realitas semacam ini tidak bisa dipungkiri sebab memang seringkali dapat dilihat bahwa agama memainkan peran sentral dalam konflik-konflik sosial. Hal ini cukup menunjukkan bahwa identitas yang dibentuk oleh agama sebagai suatu perekat sosial memiliki peran yang cukup besar dalam hubungan intersubjektif antar individu. Jika agama tidak ada, individu akan kehilangan perekat sosialnya dan sentimen kebersamaan yang ditimbulkan kini lenyap. Individu merasa kini identiitasnya dilenyapkan dan kolektivitasnya tidak mungkin lagi terbangun.
Kebutuhan akan agama ini juga nampak dalam permasalahan yang moral dan yang etis, tentang hal yang benar yang harus dilakukan dan juga tentang baik dan buruk manusia sebagai manusia. Tidak bisa dipungkiri bahwa agama memainkan peran sentral dalam hal ini. Berbagai agama selalu memiliki disposisi tersendiri dalam menghadapi masalah yang moral dan yang etis.
Aborsi, homoseksualitas, euthanasia, hukuman mati, transgender, dan biseksual hanyalah segelintir masalah-masalah moral dan etis yang dihadapi oleh agama-agama di dunia. Terhadap kenyataan seperti itu, jawaban agama-agama dunia hamper bisa dipastikan: tidak. Klaim semacam ini kemudian sering dipertanyakan oleh kaum-kaum “rights” atau sebut saja pegiat hak-hak asasi manusia –terutama terkait dengan isu LGBT- yang menyatakan bahwa agama-agama sekelas itu tidak toleran terhadap realitas dunia. Namun, biar bagaimanapun, itulah disposisi agama dalam menghadapai masalah yang moral dan yang etis.
Identitas, monotonasi, dan sejarah
Bahasan mengenai agama yang dibutuhkan ataupun untuk dihancurkan tidak sebatas pada hal-hal di atas. Hal-hal kecil di atas hanya memberikan kontribusi kecil mengenai perlu dan tidak perlunya agama di dalam sebuah struktur masyarakat. Yang satu mengatakan agama hanya akan membodohi. Yang satu lagi merasa agama itu adalah sebuah identitas yang tidak terpisahkan terutama ketika manusia harus mempertimbangkan masalah moral dan etis. Lalu bagaimana jika agama tidak ada?
Peramalan pertama kemungkinan berkaitan dengan identitas koletif di masyarakat. Amartya Sen dalam karyanya Identity and Violence menyatakan bahwa ada hakikatnya tidak ada manusia yang hidup dengan sebuah identitas tunggal. Secara nyata, mereka semua adalah multi-identitas. Oleh karena itu, tidak akan pernah bisa seseorang hanya mengiblatkan dirinya pada satu jenis identitas, termasuk hanya pada agama.
Oleh karena itu, ketika agama hilang dalam sebuah struktur masyarakat, ada satu identitas yang hilang: agama. Agama adalah pembentuk identitas dan dengan demikian jika dihilangkan, sekelompok orang akan merasa bahwa sebagian kolektivitasnya dicabut dari diri mereka.
Yang kedua adalah munculnya sebuah keadaan yang monoton. Seperti yang telah diungkapkan di atas bahwa agama memiliki disposisi tersendiri dalam masalah yang moral dan yang etis. Lalu, jika agama dicabut dari struktur sosial masyarakat, maka yang terjadi adalah sebuah kehidupan yang monoton. Kaum homoseksual dan lesbian tidak akan lagi ditentang dan tidak akan lagi dipertimbangkan kemoralan dan keetisannya sebab tidak ada lagi antitesis di sana yang melawan eksistensi mereka.
Hal ini tidak ada bedanya dengan abad pertengahan di Eropa ketika inkuisisi dan otoriterisasi agama menjadi begitu kuat. Ketika hal tersebut berlangsung, segala kemungkinan yang ada di sana hanya berkiblat pada agama dan membuat segala sesuatu yang berada di luarnya bisa dibunuh secara legal bahkan pengakuan akan sesuatu yang benar pun dianggap tidak benar hanya karena otoriterisasi agama.
Apakah mungkin rasionalitas akan melakukan hal yang sama? Bisa saja jika tidak ada antitesis yang meredamnya dan membuat mereka seolah-olah berkuasa atas segala-galanya. Bisa jadi nilai-nilai yang ditawarkan oleh agama sekarang ternyata memiliki kebenarannya sendiri yang tidak bisa dibuktikan oleh rasio.
Kemungkinan terakhir di sini adalah hilangnya sejarah dari dunia karena keadaan monoton yang tercipta akibat hilangnya agama. Hegel berpendapat bahwa sejarah itu bisa tercipta karena adanya interaksi antara tesis dan antitesis yang menimbulkan sintesis. Sintesis ini nantinya akan kembali bertemu dengan anti nya dan begitu seterusnya.
Agama memberikan disposisi tersendiri terutama dalam masalah yang moral dan yang etis. Disposisi ini tentu saja akan terus berkontradiksi dengan disposisi lainnya yang berjalan dari latar belakang yang berbeda. Namun, kontradiksi ini yang menyulut sejarah untuk terus bisa ditorehkan di dunia. Seandainya saja semua sudah fixed seperti Eropa di abad pertengahan maka yang terjadi adalah sejarah yang monoton dan akan berhenti di titik itu. Dalam hal ini, nampaknya individu bisa hidup dalam rasa bosan.
Agama di dunia telah memberikan kontribusi tersendiri dalam struktur di masyarakat. Diposisinya memberikan kesempatan bagi individu untuk terus berpikir tentang yang moral dan yang etis dari berbagai aspek. Perasaan identitas yang dibangun pun juga memberikan efek tersendiri bagi sebagian orang. Jika agama berhasil dihancurkan, maka yang kemungkinan timbul berikutnya adalah sebuah tipe monotonasi dan dominasi.
Sumber :
http://sosbud.kompasiana.com/2012/05/22/apakah-agama-harus-hilang-dari-struktur-masyarakat-464118.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar