Disela-sela waktu luang..
19.34 WIB
Lokasi : ruang tamu
Wina : Pah, Wina kan jurusannya sastra inggris, dia sastra china. Kan sama-sama sastra tuh kalo ngobrol nyambung kan ya pah? Daripada sama matannya..
Papa : Emang mantannya kuliah jurusan apa ?
Wina : Jurusan kedokteran pah. Coba bayangin pah kalo mereka jalan, pasti omongannya ga nyambung yang satu ngomongin shakespare, monalisa, dan yang lain-lainnya lah, yang satu ngomong kesehatan, jantung, ginjal. Ga nyambung kan pah ?
Papa : Iya
Wina : Ye ye yeeeeeah!!! * jingkrak-jingkrakan *
Papa : Tapi..
Wina : Tapi apa ?
Papa : Kalo papa jadi cowonya sih papa milih yang kedokteran. * intonasi datar *
Wina : JLEP...!!! Hmm..ya...hmm... i...iya si p..paah tapii... *ke kamar, pasang headset, pasang lagu pupus-dewa19*
( yaa emm... gue juga sih, kalo jadi cowonya milih yang kedokteran , ya tapikaaan... tapiii yaaa paling ngga untuk kali inii aja gitu setujuu gitu sama kata-kata gue, buat nyenengin perasaan anaknya huhhuuuu)
Haruuus kusadariii cintaku bertepuk sebelah tangaaan~~~
------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Mau tau lebih banyak cerita tentang Wina dan kebodohan-kebodohan lainnya ? Still stay tune ya at http://ulfamvn.blogspot.com twice a week. Thank you for reading, and also I don't hate comment :)
Kamis, 31 Januari 2013
Kamis, 24 Januari 2013
Untuk apa meributkan kerudung ?
Pada masa sekarang bermunculan banyak fonemena tentang jilbab (kerudung) khususnya pada kalangan remaja dan pelajar.Banyak opini yang terlontar mengenai perlu atau penting dan tidaknya sebuah kerudung bagi kaum hawa. Memang perlu pendalaman yang lebih untuk mengkaji hal ini. Sering terjadi pro dan kontra mengenai hal dalam pemakaian jilbab (kerudung) dikalangan perempuan. Dikalangan perempuan pun masih terjadi gejolak dengan berbagai pertanyaan untuk apa sih memakai kerudung?,,apa harus seorang wanita memakai kerudung?. Mungkin karna hal demikian sedikit saya akan mengupas tentang peranan jilbab (kerudung) pada seorang perempuan khusunya umat muslim, saya menyali dari buku karangan KH. Abdurahman Wahid (Gus Dur) dalam bukunya yang berjudul “Tuhan Tidak Perlu Dibela”, yang mengambil topik Kerudung Dan Kesadaran Beragama.
Kerudung adalah pemandangan biasa di kalangan kaum muslim yang taat beragama. Tidak semua wanita muslim yang dikenal dengan sebutan muslimat, mengenakannya. Namun porsi pemakaianya cukup besar guna melekatkan predikat “biasa” diatas. Ke pasar, masjid, maupun pesta dan upacara, pendeknya kesemua keperluan di luar rumah kerudung selalu dipakai. Begitu juga dirumah , kalau sedang ada tamu.
Ada yang warna-warni, terkadang dihiasi renda dan sulaman indah, ada juga yang polos, hanya pinggiranya saja yang disentuh benang jahitan. Ada yang memang dipakai untuk menutup rambut seluruhnya, namun tidak kurang pula yang hanya disangkutkan saja pada bahu, tidak sampai menghalangi pandangan mata ke seluruh sanggul yang memahkotai kepala. Apalagi kalau sanggul di “disasak” lebar-lebar dengan diameter tidak kurang dari ban skuter Vspa atau Bajaj!. Biasanya yang begini adalah tanda krisis identitas, tidak berani meninggalkan diri sebagai muslimat, tapi enggan disebut kampungan.
Tidak disangka tidak dinanya, penggunaan kerudung dapat juga menimbulkan pertentangan pendapat, antara mereka yang menentang dan mempertahankan. Tidak terduga sebelumnya kerudung menjadi titik sengketa, fokus sebuah konflik sosial.
Padahal tadinya masalah penggunaan kerudungdianggap masalah sepele saja. yang masih kuat bertahan pada identitas “kesantrian” terus memakainya, yang sudah tidak merasa perlu sudah tentu meninggalkanya. Juga ada peragu yang menggunakanya di atas bahu waktu ada pesta dan upacara.
ketika seorang anutan yang dianggap
Apa gerangan yang membuat pemakai kerudung menjadi masalah peka, padahal sekian lama ia “dibiarkan” pada keputusan pribadi masing-masing di kalangan kaum muslimat.
Masalahnya berkisar pada munculnya kerudung itu sendiri sebagai simbol. Selama ini, simbol tersebut, simbol ketaatan beragama bagi yang memakai dan simbol “kekampungan” bagi yang tidak mengenakanya, hidup berdampingan secara damai. Masing-masing berkembang di dunianya sendiri, bagaikan polisi dan pencuri, seirama dengan pelapisan masyarakat begitu ruwet dan kompleks. Tidak ada pertentangan terbuka, tidak pernah didiskusikan perlu atau tidaknya menggunakan kerudung. Apalagi dilokakaryakan atau diseminarkan.
Masalahnya menjadi berbeda , ketika berkembang sebuah kesadaran barudi kalangan remaja muslim. Mereka adalah generasi yang serius melihat segala sesuatu dalam hidup ini, dari jerawat di pipi hingga pandangan hidup yang diidealkan masing-masing. Begitulah, ketiaka seorang anutan yang dianggap memiliki wewenang penuh untuk merumuskan “kebenaran agama” memerintahkan remaja asuhanya untuk memelihar “aurat” berdasarkan ketentuan Islam. Dengan serta merta anjuran ini diikuti, termasuk oleh siswa SMA lalu mengenakan kerudung di lingkunagan sekolah. Sudah tentu “pemandangan” tidak biasa, jauh dari kebiasaan berseragam sekolah tanpa tutp kepala sama sekali.
Dua hal “dilanggar” oleh perbuatan itu. Pertama “konsensus” selama ini, yang juga tiadak didasari dahulu, bahwa kerudung bukanya yang “layak”untuk siswi-siswi sekolah nonagama. Kedua, kecendungan pada uniformitas sikap dan perilaku, yang dicoba untuk “ditegakan” oleh lingkungan pendidikan kita. Dari pesuruh sampai Menteri P dan K, besar sekali kelihatanya untuk menyeragamkan pandangan, sikap ,dan perilaku ” keluarga besar pendidikan nasional”.
Sudah tentu “konsesus” dan kecenderunagnya di atas segera mengeluarkan reaksi balik atas prakarsa sisiwi SMA yang menggunakan kerudung pergi ke sekolah itu Dapat diterka senjata utama, yang digunakan pihak pimpina sekolah adalah “pelanggaran disiplin”. Benar saja, atas dlih itu sang siswi itu dikeluarkan dari sekolahnya.
Pemecatan dapat dilakukan, selama ada kesamaan pandangan antara pihak “penegak disiplin” dan pihak-pihak lain diluar. Berarti didalam kasus-kasus dimana ada kejelasan bahwa si”pelaggar disiplin” memang bersalah atas persetujuan universal semua pihak.
Kesulitanya adalah kalau cukup banyak jumlah orang yang tidak sependapat, seperti dalam kasus kerudung di Bandungbaru-baru ini. Lalu disebutkanlah hal-hal yang meragukan kebenaran tindakan disipliner yang dijatuhkan atas diri “siswi berkerudung” itu. Pelanggaran hak pribadi siswi untuk mengenakan pakaian yang disenaginya tuduhan pimpinan sekolahan bersikap “memusuhi Islam” dan lain-lain tuduhan lagi, semua dilemparkan seenaknya.
Apa yang dilupakan kebanyak orang adalah penglihatan global pada masalah kerudung itu. Ia tidal lain adalah pencemaran dari kuatnya tuntunan di kalangan remaja muslim, agar ajaran Islam dilakukan secara tuntas dan konsekuen. Ia adalah bagian dari ketekunan yang semakin bertambah untuk meramaikan masjid, merumuskan “sikap Islam” terhdap berbagai masalah dan keberangan terhadap apa yang digeneralisasikan sebagai “pandangan-pandangan sekularistik”di kalangan kaum muslim sendiri. Kasus kerudung adalah bagian dari meningkatnya kesadaran beragama di kalangan kaum remaja muslim dewasa ini.
Kesadaran itu muncul dari banyak sebab. Diantaranya adalah kekecewaan terhadap kebangkrutan teknologiilmu pengetahuan modern, yang diredusir kedudukan menjadi hamba kekuasaan modal saja, tanpa membawa perbaikan mendasar atas tingkat kehidupan manusia. Juga kekecewaan melihat terbatasnya kemampuan umat manusia untuk mencari pemecahan hakiki atas persoalan utama yang dihadapinya. Tidak kurang pentingnya adalah juga kekecewaan mereka terhadap kegagalan elite kaum muslimin di seluruh dunia, yang tidak mampu meningkatkan derajat agama mereka di hadapan tantangan “pihak luar” terhadap Islam.
Dapat dimengerti kalau kesadaran itu juga mempunyai imbas fisik atas perilaku para remaj muslim dimana-mana termasuk mereka yang lalu memelihara jenggot dan memakai kerudung. Perilaku seperti itu tidak sepatutnya diremehkan dan disepelekan, karena itu merupakan bagian dari kesadaran untuk menegakan Islam sebagai “jalan hidup”. Boleh kita tidak setuju dengan aspirasai holistik seperti itu, namun dihargai sebagai upaya untuk menemukanIslam dalam kebulatan dan keutuhan, jadi motifnya berwatak transendental.
Kalau tidak diperhitungkan “tindakan disipliner” ata “pelanggaran gadis berkerudung”di salah satu dari sudut kesadaran beragamaini, terlepas dari keputusan apa yang akan diambil, maka sebenarnya tindakan itu tidak memecahkan masalah. Ia hanya menunda atau memindahkan masalah saja. Kasus-kasus serupa akan tetap muncul dengan intensitas dan implikasi yang mungkin semakin gawat bagi masa depan kita semua sebagai bangsa.
Dari wacan diatas mungki saya bisa mengambil sedikit kesimpulan tentang masalah pemakaian kerudung di kalangan remaja dan pelajar. Menurut saya pemakaian sebuah kerudung bukanlah suatu paksaan, karna dalam Islam pun tak ada paksaan, semua bersifat suka rela. Bila anda merasa benar dengan keyakinan anda bahwa sebagai seorang muslim harus (wajib) memakai kerudung (jilbab) maka jangan menyalahka kaum muslim yang lainya yang tidak memakai jilbab (kerudung) apalagi sampai terjadi pemaksaan dikarenakan keyakinan anda akan sebuah kebenaran yang anda percayai. Karena memakai jilbab (kerudung) bukan hanya karna ingin menunjukan eksistensinya sebagai hambaNya yang taat dan sebagai umat Islam, melainkan sebagai kesadaran menjadikan Islam sebagai “jalan hidup”. dan dari sebuah kesadaran pulalah yang akhirnya akan membawa kita pada suatu pemikiran tenteng perlunya jilbab (kerudung) pada kaum perempuan.
Sumber :
http://agama.kompasiana.com/2010/11/29/buat-apa-sih-meributkan-kerudung/
Kerudung adalah pemandangan biasa di kalangan kaum muslim yang taat beragama. Tidak semua wanita muslim yang dikenal dengan sebutan muslimat, mengenakannya. Namun porsi pemakaianya cukup besar guna melekatkan predikat “biasa” diatas. Ke pasar, masjid, maupun pesta dan upacara, pendeknya kesemua keperluan di luar rumah kerudung selalu dipakai. Begitu juga dirumah , kalau sedang ada tamu.
Ada yang warna-warni, terkadang dihiasi renda dan sulaman indah, ada juga yang polos, hanya pinggiranya saja yang disentuh benang jahitan. Ada yang memang dipakai untuk menutup rambut seluruhnya, namun tidak kurang pula yang hanya disangkutkan saja pada bahu, tidak sampai menghalangi pandangan mata ke seluruh sanggul yang memahkotai kepala. Apalagi kalau sanggul di “disasak” lebar-lebar dengan diameter tidak kurang dari ban skuter Vspa atau Bajaj!. Biasanya yang begini adalah tanda krisis identitas, tidak berani meninggalkan diri sebagai muslimat, tapi enggan disebut kampungan.
Tidak disangka tidak dinanya, penggunaan kerudung dapat juga menimbulkan pertentangan pendapat, antara mereka yang menentang dan mempertahankan. Tidak terduga sebelumnya kerudung menjadi titik sengketa, fokus sebuah konflik sosial.
Padahal tadinya masalah penggunaan kerudungdianggap masalah sepele saja. yang masih kuat bertahan pada identitas “kesantrian” terus memakainya, yang sudah tidak merasa perlu sudah tentu meninggalkanya. Juga ada peragu yang menggunakanya di atas bahu waktu ada pesta dan upacara.
ketika seorang anutan yang dianggap
Apa gerangan yang membuat pemakai kerudung menjadi masalah peka, padahal sekian lama ia “dibiarkan” pada keputusan pribadi masing-masing di kalangan kaum muslimat.
Masalahnya berkisar pada munculnya kerudung itu sendiri sebagai simbol. Selama ini, simbol tersebut, simbol ketaatan beragama bagi yang memakai dan simbol “kekampungan” bagi yang tidak mengenakanya, hidup berdampingan secara damai. Masing-masing berkembang di dunianya sendiri, bagaikan polisi dan pencuri, seirama dengan pelapisan masyarakat begitu ruwet dan kompleks. Tidak ada pertentangan terbuka, tidak pernah didiskusikan perlu atau tidaknya menggunakan kerudung. Apalagi dilokakaryakan atau diseminarkan.
Masalahnya menjadi berbeda , ketika berkembang sebuah kesadaran barudi kalangan remaja muslim. Mereka adalah generasi yang serius melihat segala sesuatu dalam hidup ini, dari jerawat di pipi hingga pandangan hidup yang diidealkan masing-masing. Begitulah, ketiaka seorang anutan yang dianggap memiliki wewenang penuh untuk merumuskan “kebenaran agama” memerintahkan remaja asuhanya untuk memelihar “aurat” berdasarkan ketentuan Islam. Dengan serta merta anjuran ini diikuti, termasuk oleh siswa SMA lalu mengenakan kerudung di lingkunagan sekolah. Sudah tentu “pemandangan” tidak biasa, jauh dari kebiasaan berseragam sekolah tanpa tutp kepala sama sekali.
Dua hal “dilanggar” oleh perbuatan itu. Pertama “konsensus” selama ini, yang juga tiadak didasari dahulu, bahwa kerudung bukanya yang “layak”untuk siswi-siswi sekolah nonagama. Kedua, kecendungan pada uniformitas sikap dan perilaku, yang dicoba untuk “ditegakan” oleh lingkungan pendidikan kita. Dari pesuruh sampai Menteri P dan K, besar sekali kelihatanya untuk menyeragamkan pandangan, sikap ,dan perilaku ” keluarga besar pendidikan nasional”.
Sudah tentu “konsesus” dan kecenderunagnya di atas segera mengeluarkan reaksi balik atas prakarsa sisiwi SMA yang menggunakan kerudung pergi ke sekolah itu Dapat diterka senjata utama, yang digunakan pihak pimpina sekolah adalah “pelanggaran disiplin”. Benar saja, atas dlih itu sang siswi itu dikeluarkan dari sekolahnya.
Pemecatan dapat dilakukan, selama ada kesamaan pandangan antara pihak “penegak disiplin” dan pihak-pihak lain diluar. Berarti didalam kasus-kasus dimana ada kejelasan bahwa si”pelaggar disiplin” memang bersalah atas persetujuan universal semua pihak.
Kesulitanya adalah kalau cukup banyak jumlah orang yang tidak sependapat, seperti dalam kasus kerudung di Bandungbaru-baru ini. Lalu disebutkanlah hal-hal yang meragukan kebenaran tindakan disipliner yang dijatuhkan atas diri “siswi berkerudung” itu. Pelanggaran hak pribadi siswi untuk mengenakan pakaian yang disenaginya tuduhan pimpinan sekolahan bersikap “memusuhi Islam” dan lain-lain tuduhan lagi, semua dilemparkan seenaknya.
Apa yang dilupakan kebanyak orang adalah penglihatan global pada masalah kerudung itu. Ia tidal lain adalah pencemaran dari kuatnya tuntunan di kalangan remaja muslim, agar ajaran Islam dilakukan secara tuntas dan konsekuen. Ia adalah bagian dari ketekunan yang semakin bertambah untuk meramaikan masjid, merumuskan “sikap Islam” terhdap berbagai masalah dan keberangan terhadap apa yang digeneralisasikan sebagai “pandangan-pandangan sekularistik”di kalangan kaum muslim sendiri. Kasus kerudung adalah bagian dari meningkatnya kesadaran beragama di kalangan kaum remaja muslim dewasa ini.
Kesadaran itu muncul dari banyak sebab. Diantaranya adalah kekecewaan terhadap kebangkrutan teknologiilmu pengetahuan modern, yang diredusir kedudukan menjadi hamba kekuasaan modal saja, tanpa membawa perbaikan mendasar atas tingkat kehidupan manusia. Juga kekecewaan melihat terbatasnya kemampuan umat manusia untuk mencari pemecahan hakiki atas persoalan utama yang dihadapinya. Tidak kurang pentingnya adalah juga kekecewaan mereka terhadap kegagalan elite kaum muslimin di seluruh dunia, yang tidak mampu meningkatkan derajat agama mereka di hadapan tantangan “pihak luar” terhadap Islam.
Dapat dimengerti kalau kesadaran itu juga mempunyai imbas fisik atas perilaku para remaj muslim dimana-mana termasuk mereka yang lalu memelihara jenggot dan memakai kerudung. Perilaku seperti itu tidak sepatutnya diremehkan dan disepelekan, karena itu merupakan bagian dari kesadaran untuk menegakan Islam sebagai “jalan hidup”. Boleh kita tidak setuju dengan aspirasai holistik seperti itu, namun dihargai sebagai upaya untuk menemukanIslam dalam kebulatan dan keutuhan, jadi motifnya berwatak transendental.
Kalau tidak diperhitungkan “tindakan disipliner” ata “pelanggaran gadis berkerudung”di salah satu dari sudut kesadaran beragamaini, terlepas dari keputusan apa yang akan diambil, maka sebenarnya tindakan itu tidak memecahkan masalah. Ia hanya menunda atau memindahkan masalah saja. Kasus-kasus serupa akan tetap muncul dengan intensitas dan implikasi yang mungkin semakin gawat bagi masa depan kita semua sebagai bangsa.
Dari wacan diatas mungki saya bisa mengambil sedikit kesimpulan tentang masalah pemakaian kerudung di kalangan remaja dan pelajar. Menurut saya pemakaian sebuah kerudung bukanlah suatu paksaan, karna dalam Islam pun tak ada paksaan, semua bersifat suka rela. Bila anda merasa benar dengan keyakinan anda bahwa sebagai seorang muslim harus (wajib) memakai kerudung (jilbab) maka jangan menyalahka kaum muslim yang lainya yang tidak memakai jilbab (kerudung) apalagi sampai terjadi pemaksaan dikarenakan keyakinan anda akan sebuah kebenaran yang anda percayai. Karena memakai jilbab (kerudung) bukan hanya karna ingin menunjukan eksistensinya sebagai hambaNya yang taat dan sebagai umat Islam, melainkan sebagai kesadaran menjadikan Islam sebagai “jalan hidup”. dan dari sebuah kesadaran pulalah yang akhirnya akan membawa kita pada suatu pemikiran tenteng perlunya jilbab (kerudung) pada kaum perempuan.
Sumber :
http://agama.kompasiana.com/2010/11/29/buat-apa-sih-meributkan-kerudung/
Kejamnya masyarakat kota
Pembangunan adalah suatu usaha yang dilakukan untuk mengembangkan sarana fisik yang biasanya dilakukan di sebuah kota dengan tujuan memajukan ekonomi dan kualitas masyarakat yang bermukim disana. Dengan adanya pembangunan diharapkan akan adanya bangunan-bangunan baru yang membuat kota tersebut kelihatan maju dan mentereng. Pembangunan yang berlangsung di kota diharapkan dapat merubah kualitas sosial kehidupan masyarakatnya untuk lebih sejahtera.
Dewasa ini, pembangunan di kota-kota yang ada di Indonesia sudah semakin maju seiring tuntutan modernisasi. Gedung-gedung pencakar langit, perumahan mewah, dan perkantoran elit serta sekolah-sekolah megah ada di setiap sudut kota. Semua pembangunan yang dilakukan di Kota menimbulkan efek yang besar bagi lingkungan di sekitarnya. Tidak hanya itu, masyarakat yang tinggal di perkotaan sering tidak pernah berpikir bahwa akibat bangunan yang mereka tempati telah merusak sendi-sendi kehidupan masyarakat yang tinggal di desa-desa yang dekat dengan sungai, hutan, dan pegunungan.
Bagi kita yang berdomisili di Kota Banda Aceh misalnya, mudah kita melihat sendiri secara langsung hasil pembangunan yang telah dilakukan selama proses rehabilitasi dan rekonstruksi kembali Aceh pasca bencana gempa dan tsunami yang terjadi pada bulan Desember 2004 yang lalu.
Jika kita bicara pembangunan di sebuah kota, maka kita akan bicara tentang perencanaan pembangunan yang dilakukan disana oleh Bupati/Walikota. Biasanya, berbagai konsep pembangunan kota lahir dari para pengambil kebijakan tanpa memandang akibat yang akan ditimbulkan ketika pembanungan mulai dilakukan hingga selesai dilaksanakan. Strategi pembangunan yang demikian tentu saja membuat lingkungan hidup rusak. Masyarakat pedesaan menanggung akibat yang begitu besar dari pembangunan yang terus terjadi di kota.
Secara sosial, kota seharusnya menjembatani berbagai kehidupan masyarakat yang menyentuh pemenuhan ekonomi, budaya, politik, dan hal-hal lainnya yang berkaitan juga untuk kesejahteraan penduduk yang tinggal di pedesaan. Karena semua bahan baku bangunan di kota berasal dari desa sudah seharusnya pemerintah kota dan masyarakatnya memiliki perilaku yang ramah lingkungan. Jangan hanya memaksakan kehendak demi kemajuan kota yang ditinggali tanpa memikirkan efek besar bagi masyarakat yang bermukim di desa-desa.
Pembanungan di kota membutuhkan kayu, pasir, tanah, semen, dan batu. Semua bahan-bahan bangunan tersebut diambil dari hutan, gunung, perbukitan, dan sungai yang ada sumbernya dekat dengan tempat tinggal penduduk desa. Batu bata yang menjadi bahan baku utama sebuah bangunan memang berasal dari desa hasil karya masyarakat disana. Akan tetapi, tuntutan kebutuhan untuk pembangunan di kota membuat masyarakat mencari sumber tanah yang berasal dari perbukitan yang dekat dengan tempat tinggal mereka. Hal ini, berdampak buruk ketika curah hujan tinggi yang membuat longsor area tempat tinggal mereka. Juga, semen yang paling dibutuhkan didirikan pabriknya oleh pengusaha dengan ijin dari Pemerintah daerah telah menimbulkan efek yang begitu besar bagi kelangsungan hidup masyarakat di desa sekitar pabrib tersebut.
Bencana banjir bandang akibat penebangan hutan yang sembarangan sering memakan korban banyak dari penduduk desa yang tinggal di dekat sungai. Kayu-kayu hasil tebangan tersebut digunakan untuk kepentingan pembangunan di kota. Aturan yang sudah dibuat oleh Pemerintah seharusnya menjadi payung hukum bagi masyarakat desa menuntut masyarakat kota dan pemerintah berwenang atas tindakan mereka menebang hutan sehingga merusak ekosistem di sekitar tempat masyarakat desa tinggal.
Bahan bangunan berupa pasir dan bebatuan juga berasal dari sungai-sungai dan pegunungan yang dekat dengan tempat tinggal masyarakat desa. Ijin Galian C terhadap para pengusaha diberikan begitu mudah oleh pejabat di perkotaan. Tanpa ada proses uji kelayakan sama sekali akan dampak yang ditimbulkan setelah galian dilakukan. Hal ini, sering sekali menghadirkan petaka besar bagi masyarakat desa di pinggiran sungai. Sudah terlalu banyak bencana yang telah terjadi akibat proses Galian C yang dilakukan oleh pengusaha nakal tersebut. Hal ini harus menjadi perhatian besar Pemerintah kita. Selain kerusakan alam di sekitar area pengerukan pasir, aktivitas galian C juga telah mematikan sumber mata air di lereng pegunungan. Air yang begitu penting bagi kehidupan masyarakat di desa pun telah berkurang.
Aktivitas penambangan yang dilakukan pengusaha Galian C telah membuat mata air di lereng pegunungan dan di bawah mengering. Sejauh apapun tanah yang digali tetap akan sulit mendapatkan air jika aktivitas itu terus dilakukan. Akibarnya, ketika hujan deras turun selama 2 (dua) hari saja maka longsoran tanah akan terjadi. Belum lagi rusaknya jalan, jembatan, dan debu berterbangan yang dirasakan langsung oleh masyarakat kota. Akibat negatif dari proses penambangan galian C di Aceh telah banyak dibicarakan media cetak baik lokal maupun nasional. Sungguh telah mencapai titik nadir akibat kerusakan alam yang ditimbulkannya.
Tak salah, apabila penulis mengatakan bahwa penduduk yang tinggal di kota atau masyarakat yang ada di perkotaaan termasuk di Aceh memang kejam. Secara tidak langsung, mereka telah berpartisipasi terhadap timbulnya bencana alam yang diderita sepihak oleh saudara-sauadara mereka yang bertempat tinggal di desa-desa yang dekat dengan hutan, sungai, dan pegunungan yang ada di wilayah Aceh.
Dampak negatif dari pembangunan kota terhadap kualitas kehidupan sosial masyarakat desa sangat besar. Kehadiran bangunan-bangunan baru di kota untuk menjadikan kota tempat kita tinggal sebagai kota impian ternyata berdampak besar bagi kelangsungan ekosistem di pedesaan.
Sekali lagi, Pemerintah Aceh yang sekarang dan siapapun yang nanti terpilih menjadi pemimpin baru di Propinsi ujung Pulau Sumatra ini harus lebih komit terhadap isu kerusakan lingkungan akibat dari sebuah proses permbangunan. Hal ini mejadi begitu penting mengingat masa depan generasi muda Aceh dipertaruhkan kelangsungan hidupnya dari baik buruknya sebuah kebijaksanaan di bidang lingkungan hidup. Apalagi, hutan, pegunungan, sungai, dan lautan adalah sumber kehidupan yang besar apabila dipelihara dengan baik dan diikat dengan peraturan yang bijaksana tata pengelolaannya.
Masyarakat yang tinggal di kota harus bersikap lebih adil terhadap saudaranya yang ada di desa-desa. Jangan jadikan alasan kemajuan di kota untuk menyerobot lahan masyarakat desa seenak udelnya saja. Tindakan pengusaha kota yang yang merusak hutan, menggali sungai, dan mencari bahan tambang penting lainnya tak bisa termaafkan bila memakan korban jiwa dari bencana yang ditimbulkan. Sikap kejam masyarakat kota sudah selayaknya diubah bila ingin melihat Aceh damai dan sejahtera selamanya.
Sumber :
http://green.kompasiana.com/penghijauan/2011/10/31/kejamnya-masyarakat-kota-403433.html
Dewasa ini, pembangunan di kota-kota yang ada di Indonesia sudah semakin maju seiring tuntutan modernisasi. Gedung-gedung pencakar langit, perumahan mewah, dan perkantoran elit serta sekolah-sekolah megah ada di setiap sudut kota. Semua pembangunan yang dilakukan di Kota menimbulkan efek yang besar bagi lingkungan di sekitarnya. Tidak hanya itu, masyarakat yang tinggal di perkotaan sering tidak pernah berpikir bahwa akibat bangunan yang mereka tempati telah merusak sendi-sendi kehidupan masyarakat yang tinggal di desa-desa yang dekat dengan sungai, hutan, dan pegunungan.
Bagi kita yang berdomisili di Kota Banda Aceh misalnya, mudah kita melihat sendiri secara langsung hasil pembangunan yang telah dilakukan selama proses rehabilitasi dan rekonstruksi kembali Aceh pasca bencana gempa dan tsunami yang terjadi pada bulan Desember 2004 yang lalu.
Jika kita bicara pembangunan di sebuah kota, maka kita akan bicara tentang perencanaan pembangunan yang dilakukan disana oleh Bupati/Walikota. Biasanya, berbagai konsep pembangunan kota lahir dari para pengambil kebijakan tanpa memandang akibat yang akan ditimbulkan ketika pembanungan mulai dilakukan hingga selesai dilaksanakan. Strategi pembangunan yang demikian tentu saja membuat lingkungan hidup rusak. Masyarakat pedesaan menanggung akibat yang begitu besar dari pembangunan yang terus terjadi di kota.
Secara sosial, kota seharusnya menjembatani berbagai kehidupan masyarakat yang menyentuh pemenuhan ekonomi, budaya, politik, dan hal-hal lainnya yang berkaitan juga untuk kesejahteraan penduduk yang tinggal di pedesaan. Karena semua bahan baku bangunan di kota berasal dari desa sudah seharusnya pemerintah kota dan masyarakatnya memiliki perilaku yang ramah lingkungan. Jangan hanya memaksakan kehendak demi kemajuan kota yang ditinggali tanpa memikirkan efek besar bagi masyarakat yang bermukim di desa-desa.
Pembanungan di kota membutuhkan kayu, pasir, tanah, semen, dan batu. Semua bahan-bahan bangunan tersebut diambil dari hutan, gunung, perbukitan, dan sungai yang ada sumbernya dekat dengan tempat tinggal penduduk desa. Batu bata yang menjadi bahan baku utama sebuah bangunan memang berasal dari desa hasil karya masyarakat disana. Akan tetapi, tuntutan kebutuhan untuk pembangunan di kota membuat masyarakat mencari sumber tanah yang berasal dari perbukitan yang dekat dengan tempat tinggal mereka. Hal ini, berdampak buruk ketika curah hujan tinggi yang membuat longsor area tempat tinggal mereka. Juga, semen yang paling dibutuhkan didirikan pabriknya oleh pengusaha dengan ijin dari Pemerintah daerah telah menimbulkan efek yang begitu besar bagi kelangsungan hidup masyarakat di desa sekitar pabrib tersebut.
Bencana banjir bandang akibat penebangan hutan yang sembarangan sering memakan korban banyak dari penduduk desa yang tinggal di dekat sungai. Kayu-kayu hasil tebangan tersebut digunakan untuk kepentingan pembangunan di kota. Aturan yang sudah dibuat oleh Pemerintah seharusnya menjadi payung hukum bagi masyarakat desa menuntut masyarakat kota dan pemerintah berwenang atas tindakan mereka menebang hutan sehingga merusak ekosistem di sekitar tempat masyarakat desa tinggal.
Bahan bangunan berupa pasir dan bebatuan juga berasal dari sungai-sungai dan pegunungan yang dekat dengan tempat tinggal masyarakat desa. Ijin Galian C terhadap para pengusaha diberikan begitu mudah oleh pejabat di perkotaan. Tanpa ada proses uji kelayakan sama sekali akan dampak yang ditimbulkan setelah galian dilakukan. Hal ini, sering sekali menghadirkan petaka besar bagi masyarakat desa di pinggiran sungai. Sudah terlalu banyak bencana yang telah terjadi akibat proses Galian C yang dilakukan oleh pengusaha nakal tersebut. Hal ini harus menjadi perhatian besar Pemerintah kita. Selain kerusakan alam di sekitar area pengerukan pasir, aktivitas galian C juga telah mematikan sumber mata air di lereng pegunungan. Air yang begitu penting bagi kehidupan masyarakat di desa pun telah berkurang.
Aktivitas penambangan yang dilakukan pengusaha Galian C telah membuat mata air di lereng pegunungan dan di bawah mengering. Sejauh apapun tanah yang digali tetap akan sulit mendapatkan air jika aktivitas itu terus dilakukan. Akibarnya, ketika hujan deras turun selama 2 (dua) hari saja maka longsoran tanah akan terjadi. Belum lagi rusaknya jalan, jembatan, dan debu berterbangan yang dirasakan langsung oleh masyarakat kota. Akibat negatif dari proses penambangan galian C di Aceh telah banyak dibicarakan media cetak baik lokal maupun nasional. Sungguh telah mencapai titik nadir akibat kerusakan alam yang ditimbulkannya.
Tak salah, apabila penulis mengatakan bahwa penduduk yang tinggal di kota atau masyarakat yang ada di perkotaaan termasuk di Aceh memang kejam. Secara tidak langsung, mereka telah berpartisipasi terhadap timbulnya bencana alam yang diderita sepihak oleh saudara-sauadara mereka yang bertempat tinggal di desa-desa yang dekat dengan hutan, sungai, dan pegunungan yang ada di wilayah Aceh.
Dampak negatif dari pembangunan kota terhadap kualitas kehidupan sosial masyarakat desa sangat besar. Kehadiran bangunan-bangunan baru di kota untuk menjadikan kota tempat kita tinggal sebagai kota impian ternyata berdampak besar bagi kelangsungan ekosistem di pedesaan.
Sekali lagi, Pemerintah Aceh yang sekarang dan siapapun yang nanti terpilih menjadi pemimpin baru di Propinsi ujung Pulau Sumatra ini harus lebih komit terhadap isu kerusakan lingkungan akibat dari sebuah proses permbangunan. Hal ini mejadi begitu penting mengingat masa depan generasi muda Aceh dipertaruhkan kelangsungan hidupnya dari baik buruknya sebuah kebijaksanaan di bidang lingkungan hidup. Apalagi, hutan, pegunungan, sungai, dan lautan adalah sumber kehidupan yang besar apabila dipelihara dengan baik dan diikat dengan peraturan yang bijaksana tata pengelolaannya.
Masyarakat yang tinggal di kota harus bersikap lebih adil terhadap saudaranya yang ada di desa-desa. Jangan jadikan alasan kemajuan di kota untuk menyerobot lahan masyarakat desa seenak udelnya saja. Tindakan pengusaha kota yang yang merusak hutan, menggali sungai, dan mencari bahan tambang penting lainnya tak bisa termaafkan bila memakan korban jiwa dari bencana yang ditimbulkan. Sikap kejam masyarakat kota sudah selayaknya diubah bila ingin melihat Aceh damai dan sejahtera selamanya.
Sumber :
http://green.kompasiana.com/penghijauan/2011/10/31/kejamnya-masyarakat-kota-403433.html
Meredam konflik sosial dengan Bhineka Tunggal Ika
Indonesia, negara yang diberkati dengan keanekaragaman sosio-kultural terbesar di dunia. Hal tersebut dapat menjadi modal dalam membangun bangsa menjadi bangsa yang besar dan luhur apabila segenap bangsa Indonesia mampu mengelola perbedaan tersebut dengan baik. Namun apabila keanekaragaman tersebut tidak dikelola dengan baik, maka hal ini akan menjadi sumber kehancuran bagi bangsa Indonesia. Bangsa yang sangat beraneka ragam akan budaya, adat istiadat, agama, suku, ras, etnis, dan bahasa, sempat mengundang decak kagum negara-negara di dunia beberapa dasa warsa yang lalu karena di tengah kondisi yang begitu beraneka ragam, bangsa Indonesia mampu hidup rukun dan bersatu dalam bingkai Bhineka Tunggal Ika. Namun beberapa tahun saat ini, semangat persatuan tersebut semakin luntur di tengah kehidupan bangsa Indonesia dengan semakin maraknya konflik-konflik sosial yang dilatar belakangi permasalahan suku, etnis dan agama. Tengoklah beberapa tragedi yang membuat miris hati kita, seperti tragedi di Poso, Ambon, Sampit, Cikeusik, kasus bentrok lampung yang belum lama ini terjadi yang menewaskan belasan orang dan begitu banyak kasus-kasus bentrok antar warga serta bentrok antar pelajar atau mahasiswa. Kasus-kasus tersebut mengindikasikan semakin ditinggalkannya semangat persatuan di dalam perbedaan yang dirintis oleh founding fathers NKRI dalam semangat Bhineka Tunggal Ika.
Dalam rangka upaya membagkitkan kembali semangat persatuan dan kesatuan, maka perlu upaya dari berbagai lini kehidupan manusia, mulai dari pendidikan, ekonomi, politik, sosial budaya dan agama dan hal ini bukanlah hanya tanggung jawab pemerintah namun juga tanggung jawab semua komponen masyarakat negeri ini. Ke semua sendi-sendi kehidupan manusia tersebut harus bersinergi satu sama lain dengan semangat akan nilai-nilai yang terkandung dalam Bhineka Tunggal Ika.
Pendidikan misalnya, salah satu konsep pendidikan yang dapat ditawarkan adalah pendidikan yang berbasis multikultural. Dalam konsep pendidikan multikultural, maka pendidikan tidak hanya sebgai lembaga yang hanya mencetak manusia yang memiliki intelektualitas yang mumpuni namun juga manusia yang memiliki tingkat kesadaran yang tinggi dalam memandang berbagai perbedaan untuk saling menghargai dan menghormati. Maka dalam pelaksanaannya, proses pendidikan harus memperhatikan berbagai perbedaan yang dimiliki oleh para peserta didik, seperti perbedaan suku, ras, etnis, agama, umur, bakat, minat, dan kecepatan dalam menyerap informasi. Perbedaa-perbedaan yang ada pada peserta didik tersebut harus menjadi salah satu pertimbangan dalam penyusunan kurikulum di sekolah-sekolah agar out-put yang dihasilkan oleh lembaga pendidikan merupakan pribadi-pribadi yang memiliki sifat humanis, pluralis, dan demokratis sehingga mereka dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dapat menghormati dan menghargai perbedaan dirinya dengan orang lain.
Dalam kehidupan beragama, salah satu konsep yang dapat kita terapkan dalam membina kerukunan hidup berbangsa yakni konsep Agree in disagreement, setuju dalam ketidaksetujuan atau sepakat dalam perbedaan. Konsep tersebut merupakan buah pemikiran salah satu pemikir pembaruan dunia Islam di Indonesia yakni Mukti Ali yang didasari atas ragamnya budaya dan agama di Inonesia, yang dilandasi pemahaman beliau secara mendalam terhadap teks-teks keagamaan dan nilai-nilai fundamental agama. Dalam pandangannya tersebut, beliau mencetuskan tiga bentuk kerukunan hidup beragama yang biasa kita sebut trilogi kerukunan hidup beragama.
Pertama, kerukunan antar umat seagama. Dalam satu agama, terdapat banyak kelompok yang berbeda-beda, misalnya dalam Islam terdapat 4 mazhab besar, di Indonesia sendiri terdapat Muhammadiyah, NU, Masyumi, dan lain sebagainya. Begitu juga umat agama non Islam yang memiliki perbedaan di dalam agama mereka. Menurut Mukti Ali, adanya perbedaan dalam satu agama dapat memicu adanya perselisihan yang bahkan sering berujung pada perpecahan antarumat seagama apabila perbedaan-perbedaan tersebut tidak dikelola secara baik.
Kedua, kerukunan antar umat berbeda agama. Di belahan dunia manapun, konflik agama pernah terjadi tidak terkecuali di Indonesia. Masih teringat jelas di benak kita akan ganasnya tragedi Poso dan Ambon yang menjadi sejarah kelam Indonesia dalam merajut kerukunan antar umat berbeda beragama. Itu adalah fakta apabila perbedaan agama tidak disikapi dengan saling menghargai dan menghormati maka akan timbul konflik-konflik semacam itu. Maka sudah suatu kewajiban bagi para penganut agamanya masing-masing untuk dapat hidup berdampingan secara rukun dan damai dengan penganut agama yang lain.
Ketiga, kerukunan umat beragama dengan pemerintah. Antara umat beragama dengan pemerintah sangat penting sekali menjalin hubungan yang harmonis, agar para penganut agama masing-masing dapat menjalankan ritual-ritual keagamaan mereka dengan perasaan aman, damai dan terjamin. Berkaitan dengan hal ini Mukti Ali menyatakan bahwa negara indonesia bukanlah negara teokrasi dan bukan pula negara sekuler.
Dengan menerapkan ketiga hal tersebut, maka akan terciptalah kerukunan antar umat seagama, antar umat berbeda agama, dan antara umat beragama dengan pemerintah. Apabila ketiga hal tersebut dijalankan oleh masyarakat Indonesia, maka akan dipastikan dapat meredam berbagai konflik agama yang mendera bangsa Indonesia. Pada akhirnya, setiap warga negara dapat menjalankan aktivitas keagamaan mereka dengan perasaan aman dan damai.
Sumber :
http://sosbud.kompasiana.com/2012/11/09/meredam-konflik-sosial-dengan-bhineka-tunggal-ika-507821.html
Dalam rangka upaya membagkitkan kembali semangat persatuan dan kesatuan, maka perlu upaya dari berbagai lini kehidupan manusia, mulai dari pendidikan, ekonomi, politik, sosial budaya dan agama dan hal ini bukanlah hanya tanggung jawab pemerintah namun juga tanggung jawab semua komponen masyarakat negeri ini. Ke semua sendi-sendi kehidupan manusia tersebut harus bersinergi satu sama lain dengan semangat akan nilai-nilai yang terkandung dalam Bhineka Tunggal Ika.
Pendidikan misalnya, salah satu konsep pendidikan yang dapat ditawarkan adalah pendidikan yang berbasis multikultural. Dalam konsep pendidikan multikultural, maka pendidikan tidak hanya sebgai lembaga yang hanya mencetak manusia yang memiliki intelektualitas yang mumpuni namun juga manusia yang memiliki tingkat kesadaran yang tinggi dalam memandang berbagai perbedaan untuk saling menghargai dan menghormati. Maka dalam pelaksanaannya, proses pendidikan harus memperhatikan berbagai perbedaan yang dimiliki oleh para peserta didik, seperti perbedaan suku, ras, etnis, agama, umur, bakat, minat, dan kecepatan dalam menyerap informasi. Perbedaa-perbedaan yang ada pada peserta didik tersebut harus menjadi salah satu pertimbangan dalam penyusunan kurikulum di sekolah-sekolah agar out-put yang dihasilkan oleh lembaga pendidikan merupakan pribadi-pribadi yang memiliki sifat humanis, pluralis, dan demokratis sehingga mereka dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dapat menghormati dan menghargai perbedaan dirinya dengan orang lain.
Dalam kehidupan beragama, salah satu konsep yang dapat kita terapkan dalam membina kerukunan hidup berbangsa yakni konsep Agree in disagreement, setuju dalam ketidaksetujuan atau sepakat dalam perbedaan. Konsep tersebut merupakan buah pemikiran salah satu pemikir pembaruan dunia Islam di Indonesia yakni Mukti Ali yang didasari atas ragamnya budaya dan agama di Inonesia, yang dilandasi pemahaman beliau secara mendalam terhadap teks-teks keagamaan dan nilai-nilai fundamental agama. Dalam pandangannya tersebut, beliau mencetuskan tiga bentuk kerukunan hidup beragama yang biasa kita sebut trilogi kerukunan hidup beragama.
Pertama, kerukunan antar umat seagama. Dalam satu agama, terdapat banyak kelompok yang berbeda-beda, misalnya dalam Islam terdapat 4 mazhab besar, di Indonesia sendiri terdapat Muhammadiyah, NU, Masyumi, dan lain sebagainya. Begitu juga umat agama non Islam yang memiliki perbedaan di dalam agama mereka. Menurut Mukti Ali, adanya perbedaan dalam satu agama dapat memicu adanya perselisihan yang bahkan sering berujung pada perpecahan antarumat seagama apabila perbedaan-perbedaan tersebut tidak dikelola secara baik.
Kedua, kerukunan antar umat berbeda agama. Di belahan dunia manapun, konflik agama pernah terjadi tidak terkecuali di Indonesia. Masih teringat jelas di benak kita akan ganasnya tragedi Poso dan Ambon yang menjadi sejarah kelam Indonesia dalam merajut kerukunan antar umat berbeda beragama. Itu adalah fakta apabila perbedaan agama tidak disikapi dengan saling menghargai dan menghormati maka akan timbul konflik-konflik semacam itu. Maka sudah suatu kewajiban bagi para penganut agamanya masing-masing untuk dapat hidup berdampingan secara rukun dan damai dengan penganut agama yang lain.
Ketiga, kerukunan umat beragama dengan pemerintah. Antara umat beragama dengan pemerintah sangat penting sekali menjalin hubungan yang harmonis, agar para penganut agama masing-masing dapat menjalankan ritual-ritual keagamaan mereka dengan perasaan aman, damai dan terjamin. Berkaitan dengan hal ini Mukti Ali menyatakan bahwa negara indonesia bukanlah negara teokrasi dan bukan pula negara sekuler.
Dengan menerapkan ketiga hal tersebut, maka akan terciptalah kerukunan antar umat seagama, antar umat berbeda agama, dan antara umat beragama dengan pemerintah. Apabila ketiga hal tersebut dijalankan oleh masyarakat Indonesia, maka akan dipastikan dapat meredam berbagai konflik agama yang mendera bangsa Indonesia. Pada akhirnya, setiap warga negara dapat menjalankan aktivitas keagamaan mereka dengan perasaan aman dan damai.
Sumber :
http://sosbud.kompasiana.com/2012/11/09/meredam-konflik-sosial-dengan-bhineka-tunggal-ika-507821.html
Apakah agama harus hilang dari struktur masyarakat ?
Ketika agama tidak lagi berada dalam struktur sosial di masyarakat, sebuah pertanyaan menarik akan muncul: apakah struktur sosial di masyarakat akan runtuh? Apakah agama memiliki peranan yang sedemikian besar sehingga memiliki dampak signifikan terhadap masyarakat?
Tidak perlunya agama
Karl Marx menyatakan bahwa agama itu adalah candu rakyat. Ketika individu-individu teralienasi dari struktur sosial, mereka bisa lari untuk mencari ketenangan yang ditawarkan oleh agama. Disini, peran agama terlihat begitu sacral dan nampak tidak bisa dipisahkan dari masyarakat.
Permasalahannya, jika Marx berbicara tentang persaingan antar-kelas dalam struktur masyarakat maka dan orang-orang yang teralienasi tersebut berhasil berjuang serta mendapatkan persamaan melalui sebuah gerakan sosialis –misalnya,- maka agama nampak tidak lagi dibutuhkan dan tempat sandaran itu lama-kelamaan akan hilang karena orang-orang tidak lagi perlu untuk mencari sebuah tempat perlindungan diri yang absolut. Nampaknya, agama akan bisa dengan segera lenyap jika perjuangan kelas ala Marx ini sangat berhasil dan ideal menurut asumsi-asumsinya sendiri.
Dalam hal ini, jika agama lenyap, maka struktur masyarakat tidak akan hancur. Kelenyapan agama dari dunia ini justru seperti sebuah hal yang imperatif sebab rakyat tidak perlu lagi untuk disuguhkan dengan candu semacam itu. Yang diperlukan adalah sebuah perjuangan kelas dan individu-individu akan kembali menemukan jati dirinya sendiri dalam keadaan yang tidak teralienasi.
Kehancuran agama juga didukung oleh pihak-pihak yang mengiblatkan diri pada rasionalitas yang utuh. Materialisme cukup untuk menjatuhkan teori ex nihilo dan menganggap bahwa semua yang berada di luar dimensi fisik itu sama sekali tidak nyata. Dualisme tubuh dan jiwa yang dianut filsuf sekelas Rene Descartes dianggap tidak mumpuni sebab pertanyaan tentang sesuatu yang imaterial itu sama sekali tidak dapat dinalar.
Dalam hal ini, sejauh segala sesuatunya bisa dijelaskan dengan nalar, agama tidak akan lagi dibutuhkan. Kehadiran Tuhan dapat ditiadakan sebab sains akan menjawab segala sesuatunya termasuk melalui ujung tombak neurosains yang mencoba menjelaskan ranah afeksivitas (yang bersiat imaterial) dari sudut pandang materi yang ada di dalam otak.
Perekat sosial dan masalah yang moral dan yang etis
Namun kehancuran agama seperti ini tidak serta-merta didukung banyak pihak. Agama dinilai memberikan sebuah identitas kolektif yang melekat erat pada setiap individu yang berkelompok di bawah sebuah panji agama yang sama. Oleh karena itu, agama dalam hal ini merupakan sebuah perekat sosial. Agama adalah sebuah binding agent yang akan membuat individu-individu merasa menjadi satu dan terorganisasi dengan sangat baik.
Identitas kolektif ini akan memberikan warna tersendiri dari kemajemukkan identitas yang dimiliki oleh setiap individu. Realitas semacam ini tidak bisa dipungkiri sebab memang seringkali dapat dilihat bahwa agama memainkan peran sentral dalam konflik-konflik sosial. Hal ini cukup menunjukkan bahwa identitas yang dibentuk oleh agama sebagai suatu perekat sosial memiliki peran yang cukup besar dalam hubungan intersubjektif antar individu. Jika agama tidak ada, individu akan kehilangan perekat sosialnya dan sentimen kebersamaan yang ditimbulkan kini lenyap. Individu merasa kini identiitasnya dilenyapkan dan kolektivitasnya tidak mungkin lagi terbangun.
Kebutuhan akan agama ini juga nampak dalam permasalahan yang moral dan yang etis, tentang hal yang benar yang harus dilakukan dan juga tentang baik dan buruk manusia sebagai manusia. Tidak bisa dipungkiri bahwa agama memainkan peran sentral dalam hal ini. Berbagai agama selalu memiliki disposisi tersendiri dalam menghadapi masalah yang moral dan yang etis.
Aborsi, homoseksualitas, euthanasia, hukuman mati, transgender, dan biseksual hanyalah segelintir masalah-masalah moral dan etis yang dihadapi oleh agama-agama di dunia. Terhadap kenyataan seperti itu, jawaban agama-agama dunia hamper bisa dipastikan: tidak. Klaim semacam ini kemudian sering dipertanyakan oleh kaum-kaum “rights” atau sebut saja pegiat hak-hak asasi manusia –terutama terkait dengan isu LGBT- yang menyatakan bahwa agama-agama sekelas itu tidak toleran terhadap realitas dunia. Namun, biar bagaimanapun, itulah disposisi agama dalam menghadapai masalah yang moral dan yang etis.
Identitas, monotonasi, dan sejarah
Bahasan mengenai agama yang dibutuhkan ataupun untuk dihancurkan tidak sebatas pada hal-hal di atas. Hal-hal kecil di atas hanya memberikan kontribusi kecil mengenai perlu dan tidak perlunya agama di dalam sebuah struktur masyarakat. Yang satu mengatakan agama hanya akan membodohi. Yang satu lagi merasa agama itu adalah sebuah identitas yang tidak terpisahkan terutama ketika manusia harus mempertimbangkan masalah moral dan etis. Lalu bagaimana jika agama tidak ada?
Peramalan pertama kemungkinan berkaitan dengan identitas koletif di masyarakat. Amartya Sen dalam karyanya Identity and Violence menyatakan bahwa ada hakikatnya tidak ada manusia yang hidup dengan sebuah identitas tunggal. Secara nyata, mereka semua adalah multi-identitas. Oleh karena itu, tidak akan pernah bisa seseorang hanya mengiblatkan dirinya pada satu jenis identitas, termasuk hanya pada agama.
Oleh karena itu, ketika agama hilang dalam sebuah struktur masyarakat, ada satu identitas yang hilang: agama. Agama adalah pembentuk identitas dan dengan demikian jika dihilangkan, sekelompok orang akan merasa bahwa sebagian kolektivitasnya dicabut dari diri mereka.
Yang kedua adalah munculnya sebuah keadaan yang monoton. Seperti yang telah diungkapkan di atas bahwa agama memiliki disposisi tersendiri dalam masalah yang moral dan yang etis. Lalu, jika agama dicabut dari struktur sosial masyarakat, maka yang terjadi adalah sebuah kehidupan yang monoton. Kaum homoseksual dan lesbian tidak akan lagi ditentang dan tidak akan lagi dipertimbangkan kemoralan dan keetisannya sebab tidak ada lagi antitesis di sana yang melawan eksistensi mereka.
Hal ini tidak ada bedanya dengan abad pertengahan di Eropa ketika inkuisisi dan otoriterisasi agama menjadi begitu kuat. Ketika hal tersebut berlangsung, segala kemungkinan yang ada di sana hanya berkiblat pada agama dan membuat segala sesuatu yang berada di luarnya bisa dibunuh secara legal bahkan pengakuan akan sesuatu yang benar pun dianggap tidak benar hanya karena otoriterisasi agama.
Apakah mungkin rasionalitas akan melakukan hal yang sama? Bisa saja jika tidak ada antitesis yang meredamnya dan membuat mereka seolah-olah berkuasa atas segala-galanya. Bisa jadi nilai-nilai yang ditawarkan oleh agama sekarang ternyata memiliki kebenarannya sendiri yang tidak bisa dibuktikan oleh rasio.
Kemungkinan terakhir di sini adalah hilangnya sejarah dari dunia karena keadaan monoton yang tercipta akibat hilangnya agama. Hegel berpendapat bahwa sejarah itu bisa tercipta karena adanya interaksi antara tesis dan antitesis yang menimbulkan sintesis. Sintesis ini nantinya akan kembali bertemu dengan anti nya dan begitu seterusnya.
Agama memberikan disposisi tersendiri terutama dalam masalah yang moral dan yang etis. Disposisi ini tentu saja akan terus berkontradiksi dengan disposisi lainnya yang berjalan dari latar belakang yang berbeda. Namun, kontradiksi ini yang menyulut sejarah untuk terus bisa ditorehkan di dunia. Seandainya saja semua sudah fixed seperti Eropa di abad pertengahan maka yang terjadi adalah sejarah yang monoton dan akan berhenti di titik itu. Dalam hal ini, nampaknya individu bisa hidup dalam rasa bosan.
Agama di dunia telah memberikan kontribusi tersendiri dalam struktur di masyarakat. Diposisinya memberikan kesempatan bagi individu untuk terus berpikir tentang yang moral dan yang etis dari berbagai aspek. Perasaan identitas yang dibangun pun juga memberikan efek tersendiri bagi sebagian orang. Jika agama berhasil dihancurkan, maka yang kemungkinan timbul berikutnya adalah sebuah tipe monotonasi dan dominasi.
Sumber :
http://sosbud.kompasiana.com/2012/05/22/apakah-agama-harus-hilang-dari-struktur-masyarakat-464118.html
Tidak perlunya agama
Karl Marx menyatakan bahwa agama itu adalah candu rakyat. Ketika individu-individu teralienasi dari struktur sosial, mereka bisa lari untuk mencari ketenangan yang ditawarkan oleh agama. Disini, peran agama terlihat begitu sacral dan nampak tidak bisa dipisahkan dari masyarakat.
Permasalahannya, jika Marx berbicara tentang persaingan antar-kelas dalam struktur masyarakat maka dan orang-orang yang teralienasi tersebut berhasil berjuang serta mendapatkan persamaan melalui sebuah gerakan sosialis –misalnya,- maka agama nampak tidak lagi dibutuhkan dan tempat sandaran itu lama-kelamaan akan hilang karena orang-orang tidak lagi perlu untuk mencari sebuah tempat perlindungan diri yang absolut. Nampaknya, agama akan bisa dengan segera lenyap jika perjuangan kelas ala Marx ini sangat berhasil dan ideal menurut asumsi-asumsinya sendiri.
Dalam hal ini, jika agama lenyap, maka struktur masyarakat tidak akan hancur. Kelenyapan agama dari dunia ini justru seperti sebuah hal yang imperatif sebab rakyat tidak perlu lagi untuk disuguhkan dengan candu semacam itu. Yang diperlukan adalah sebuah perjuangan kelas dan individu-individu akan kembali menemukan jati dirinya sendiri dalam keadaan yang tidak teralienasi.
Kehancuran agama juga didukung oleh pihak-pihak yang mengiblatkan diri pada rasionalitas yang utuh. Materialisme cukup untuk menjatuhkan teori ex nihilo dan menganggap bahwa semua yang berada di luar dimensi fisik itu sama sekali tidak nyata. Dualisme tubuh dan jiwa yang dianut filsuf sekelas Rene Descartes dianggap tidak mumpuni sebab pertanyaan tentang sesuatu yang imaterial itu sama sekali tidak dapat dinalar.
Dalam hal ini, sejauh segala sesuatunya bisa dijelaskan dengan nalar, agama tidak akan lagi dibutuhkan. Kehadiran Tuhan dapat ditiadakan sebab sains akan menjawab segala sesuatunya termasuk melalui ujung tombak neurosains yang mencoba menjelaskan ranah afeksivitas (yang bersiat imaterial) dari sudut pandang materi yang ada di dalam otak.
Perekat sosial dan masalah yang moral dan yang etis
Namun kehancuran agama seperti ini tidak serta-merta didukung banyak pihak. Agama dinilai memberikan sebuah identitas kolektif yang melekat erat pada setiap individu yang berkelompok di bawah sebuah panji agama yang sama. Oleh karena itu, agama dalam hal ini merupakan sebuah perekat sosial. Agama adalah sebuah binding agent yang akan membuat individu-individu merasa menjadi satu dan terorganisasi dengan sangat baik.
Identitas kolektif ini akan memberikan warna tersendiri dari kemajemukkan identitas yang dimiliki oleh setiap individu. Realitas semacam ini tidak bisa dipungkiri sebab memang seringkali dapat dilihat bahwa agama memainkan peran sentral dalam konflik-konflik sosial. Hal ini cukup menunjukkan bahwa identitas yang dibentuk oleh agama sebagai suatu perekat sosial memiliki peran yang cukup besar dalam hubungan intersubjektif antar individu. Jika agama tidak ada, individu akan kehilangan perekat sosialnya dan sentimen kebersamaan yang ditimbulkan kini lenyap. Individu merasa kini identiitasnya dilenyapkan dan kolektivitasnya tidak mungkin lagi terbangun.
Kebutuhan akan agama ini juga nampak dalam permasalahan yang moral dan yang etis, tentang hal yang benar yang harus dilakukan dan juga tentang baik dan buruk manusia sebagai manusia. Tidak bisa dipungkiri bahwa agama memainkan peran sentral dalam hal ini. Berbagai agama selalu memiliki disposisi tersendiri dalam menghadapi masalah yang moral dan yang etis.
Aborsi, homoseksualitas, euthanasia, hukuman mati, transgender, dan biseksual hanyalah segelintir masalah-masalah moral dan etis yang dihadapi oleh agama-agama di dunia. Terhadap kenyataan seperti itu, jawaban agama-agama dunia hamper bisa dipastikan: tidak. Klaim semacam ini kemudian sering dipertanyakan oleh kaum-kaum “rights” atau sebut saja pegiat hak-hak asasi manusia –terutama terkait dengan isu LGBT- yang menyatakan bahwa agama-agama sekelas itu tidak toleran terhadap realitas dunia. Namun, biar bagaimanapun, itulah disposisi agama dalam menghadapai masalah yang moral dan yang etis.
Identitas, monotonasi, dan sejarah
Bahasan mengenai agama yang dibutuhkan ataupun untuk dihancurkan tidak sebatas pada hal-hal di atas. Hal-hal kecil di atas hanya memberikan kontribusi kecil mengenai perlu dan tidak perlunya agama di dalam sebuah struktur masyarakat. Yang satu mengatakan agama hanya akan membodohi. Yang satu lagi merasa agama itu adalah sebuah identitas yang tidak terpisahkan terutama ketika manusia harus mempertimbangkan masalah moral dan etis. Lalu bagaimana jika agama tidak ada?
Peramalan pertama kemungkinan berkaitan dengan identitas koletif di masyarakat. Amartya Sen dalam karyanya Identity and Violence menyatakan bahwa ada hakikatnya tidak ada manusia yang hidup dengan sebuah identitas tunggal. Secara nyata, mereka semua adalah multi-identitas. Oleh karena itu, tidak akan pernah bisa seseorang hanya mengiblatkan dirinya pada satu jenis identitas, termasuk hanya pada agama.
Oleh karena itu, ketika agama hilang dalam sebuah struktur masyarakat, ada satu identitas yang hilang: agama. Agama adalah pembentuk identitas dan dengan demikian jika dihilangkan, sekelompok orang akan merasa bahwa sebagian kolektivitasnya dicabut dari diri mereka.
Yang kedua adalah munculnya sebuah keadaan yang monoton. Seperti yang telah diungkapkan di atas bahwa agama memiliki disposisi tersendiri dalam masalah yang moral dan yang etis. Lalu, jika agama dicabut dari struktur sosial masyarakat, maka yang terjadi adalah sebuah kehidupan yang monoton. Kaum homoseksual dan lesbian tidak akan lagi ditentang dan tidak akan lagi dipertimbangkan kemoralan dan keetisannya sebab tidak ada lagi antitesis di sana yang melawan eksistensi mereka.
Hal ini tidak ada bedanya dengan abad pertengahan di Eropa ketika inkuisisi dan otoriterisasi agama menjadi begitu kuat. Ketika hal tersebut berlangsung, segala kemungkinan yang ada di sana hanya berkiblat pada agama dan membuat segala sesuatu yang berada di luarnya bisa dibunuh secara legal bahkan pengakuan akan sesuatu yang benar pun dianggap tidak benar hanya karena otoriterisasi agama.
Apakah mungkin rasionalitas akan melakukan hal yang sama? Bisa saja jika tidak ada antitesis yang meredamnya dan membuat mereka seolah-olah berkuasa atas segala-galanya. Bisa jadi nilai-nilai yang ditawarkan oleh agama sekarang ternyata memiliki kebenarannya sendiri yang tidak bisa dibuktikan oleh rasio.
Kemungkinan terakhir di sini adalah hilangnya sejarah dari dunia karena keadaan monoton yang tercipta akibat hilangnya agama. Hegel berpendapat bahwa sejarah itu bisa tercipta karena adanya interaksi antara tesis dan antitesis yang menimbulkan sintesis. Sintesis ini nantinya akan kembali bertemu dengan anti nya dan begitu seterusnya.
Agama memberikan disposisi tersendiri terutama dalam masalah yang moral dan yang etis. Disposisi ini tentu saja akan terus berkontradiksi dengan disposisi lainnya yang berjalan dari latar belakang yang berbeda. Namun, kontradiksi ini yang menyulut sejarah untuk terus bisa ditorehkan di dunia. Seandainya saja semua sudah fixed seperti Eropa di abad pertengahan maka yang terjadi adalah sejarah yang monoton dan akan berhenti di titik itu. Dalam hal ini, nampaknya individu bisa hidup dalam rasa bosan.
Agama di dunia telah memberikan kontribusi tersendiri dalam struktur di masyarakat. Diposisinya memberikan kesempatan bagi individu untuk terus berpikir tentang yang moral dan yang etis dari berbagai aspek. Perasaan identitas yang dibangun pun juga memberikan efek tersendiri bagi sebagian orang. Jika agama berhasil dihancurkan, maka yang kemungkinan timbul berikutnya adalah sebuah tipe monotonasi dan dominasi.
Sumber :
http://sosbud.kompasiana.com/2012/05/22/apakah-agama-harus-hilang-dari-struktur-masyarakat-464118.html
Tantangan SDM Indonesia di Era Globalisasi
Era Global saat ini sungguh syarat dengan berbagai persaingan yang begitu ketat dari berbagai bidang didalamnya. Persaingan itu tidak lepas dari semua unsur kebutuhan ummat manusia yang selalu berkembang setiap detiknya. Disini sangatlah jelas harus adanya upaya reformasi untuk sebuah perubahan yang dapat menjawab semua tantangan perkembangan era global, terlebih bagi Indonesia wajib untuk melakukannya.
Era Glogal abad 21 ini sungguh memiliki banyak tantangan yang harus siap dan sigap dilakukan oleh segenap umat manusia untuk bisa berbenah diri dalam peningkatan SDM (Sumber Daya Manusia) didalamnya, termasuk pula ada upaya meningkatan kualitas dan kuantitas ekonomi.
Sumber Daya Manusia (SDM) Dan Ekonominya Rakyat Indonesia
SDM merupakan salah satu faktor kunci dalam reformasi ekonomi, yakni bagaimana menciptakan SDM yang berkualitas dan memiliki keterampilan serta berdaya saing tinggi dalam persaingan global yang selama ini kita abaikan. Dalam kaitan tersebut setidaknya ada dua hal penting menyangkut kondisi SDM Indonesia, yaitu:
1). Ketimpangan antara jumlah kesempatan kerja dan angkatan kerja.
2). Tingkat pendidikan angkatan kerja yang ada masih relatif rendah.
Kedua masalah tersebut menunjukkan bahwa ada kelangkaan kesempatan kerja dan rendahnya kualitas angkatan kerja secara nasional di berbagai sektor ekonomi. Lesunya dunia usaha akibat krisis ekonomi yang berkepanjangan sampai saat ini mengakibatkan rendahnya kesempatan kerja terutama bagi lulusan perguruan tinggi. Sementara di sisi lain jumlah angkatan kerja lulusan perguruan tinggi terus meningkat. Kesempatan kerja yang terbatas bagi lulusan perguruan tinggi ini menimbulkan dampak semakin banyak angka pengangguran sarjana di Indonesia.
Menurut catatan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Ditjen Dikti) Depdiknas angka pengangguran sarjana di Indonesia lebih dari 300.000 orang.
Fenomena meningkatnya angka pengangguran sarjana seyogyanya perguruan tinggi ikut bertanggungjawab. Fenomena penganguran sarjana merupakan kritik bagi perguruan tinggi, karena ketidakmampuannya dalam menciptakan iklim pendidikan yang mendukung kemampuan wirausaha mahasiswa.
Kenyataan ini belum menjadi kesadaran bagi bangsa Indonesia untuk kembali memperbaiki kesalahan pada masa lalu. Rendahnya alokasi APBN untuk sektor pendidikan — tidak lebih dari 12% — pada peme-rintahan di era reformasi. Ini menunjukkan bahwa belum ada perhatian serius dari pemerintah pusat terhadap perbaikan kualitas SDM. Padahal sudah saatnya pemerintah baik tingkat pusat maupun daerah secara serius membangun SDM yang berkualitas.
Orang tidak bekerja alias pengangguran merupakan masalah bangsa yang tidak pernah selesai. Ada tiga hambatan yang menjadi alasan kenapa orang tidak bekerja, yaitu hambatan kultural, kurikulum sekolah, dan pasar kerja. Hambatan kultural yang dimaksud adalah menyangkut budaya dan etos kerja.
Sementara yang menjadi masalah dari kurikulum sekolah adalah belum adanya standar baku kurikulum pengajaran di sekolah yang mampu menciptakan dan mengembangkan kemandirian SDM yang sesuai dengan kebutuhan dunia kerja. Sedangkan hambatan pasar kerja lebih disebabkan oleh rendahnya kualitas SDM yang ada untuk memenuhi kebutuhan pasar kerja.
Ekonomi abad ke-21, yang ditandai dengan globalisasi ekonomi, merupakan suatu proses kegiatan ekonomi dan perdagangan, di mana negara-negara di seluruh dunia menjadi satu kekuatan pasar yang semakin terintegrasi dengan tanpa rintangan batas teritorial negara. Globalisasi yang sudah pasti dihadapi oleh bangsa Indonesia menuntut adanya efisiensi dan daya saing dalam dunia usaha.
Dalam globalisasi yang menyangkut hubungan intraregional dan internasional akan terjadi persaingan antarnegara. Indonesia dalam kancah persaingan global menurut World Competitiveness Report menempati urutan ke-45 atau terendah dari seluruh negara yang diteliti, di bawah Singapura (8), Malaysia (34), Cina (35), Filipina (38), dan Thailand (40).
Masalah daya saing dalam pasar dunia yang semakin terbuka merupakan isu kunci dan tantangan yang tidak ringan. Tanpa dibekali kemampuan dan keunggulan saing yang tinggi niscaya produk suatu negara, termasuk produk Indonesia, tidak akan mampu menembus pasar internasional.
Dengan demikian, pada era reformasi dewasa ini, alokasi SDM masih belum mampu mengoreksi kecenderungan terciptanya konsentrasi ekonomi yang memang telah tercipta sejak pemerintahan masa lalu. Sementara di sisi lain Indonesia kekurangan berbagai keahlian untuk mengisi berbagai tuntutan globalisasi.
Dengan begitu, seandainya bangsa Indonesia tidak bisa menyesuaikan terhadap pelbagai kondisionalitas yang tercipta akibat globalisasi, maka yang akan terjadi adalah adanya gejala menjual diri bangsa dengan hanya mengandalkan sumberdaya alam yang tak terolah dan buruh yang murah. Sehingga yang terjadi bukannya terselesaikannya masalah-masalah sosial ekonomi seperti kemiskinan, pengangguran dan kesenjangan ekonomi, tetapi akan semakin menciptakan ketergantungan kepada negara maju karena utang luar negeri yang semakin berlipat.
Dampak IPTEK Terhadap SDM Indonesia
Terkait dengan kondisi sumber daya manusia Indonesia yaitu adanya ketimpangan antara jumlah kesempatan kerja dan angkatan kerja. Jumlah angkatan kerja nasional pada krisis ekonomi tahun pertama (1998) sekitar 92,73 juta orang, sementara jumlah kesempatan kerja yang ada hanya sekitar 87,67 juta orang dan ada sekitar 5,06 juta orang penganggur terbuka (open unemployment). Angka ini meningkat terus selama krisis ekonomi yang kini berjumlah sekitar 8 juta.
Kedua, tingkat pendidikan angkatan kerja yang ada masih relatif rendah. Struktur pendidikan angkatan kerja Indonesia masih didominasi pendidikan dasar yaitu sekitar 63,2 %. Kedua masalah tersebut menunjukkan bahwa ada kelangkaan kesempatan kerja dan rendahnya kualitas angkatan kerja secara nasional di berbagai sektor ekonomi. Lesunya dunia usaha akibat krisis ekonomi yang berkepanjangan sampai saat ini mengakibatkan rendahnya kesempatan kerja terutama bagi lulusan perguruan tinggi. Sementara di sisi lain jumlah angkatan kerja lulusan perguruan tinggi terus meningkat. Sampai dengan tahun 2000 ada sekitar 2,3 juta angkatan kerja lulusan perguruan tinggi. Kesempatan kerja yang terbatas bagi lulusan perguruan tinggi ini menimbulkan dampak semakin banyak angka pengangguran sarjana di Indonesia.
Menurut catatan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Ditjen Dikti) Depdiknas angka pengangguran sarjana di Indonesia lebih dari 300.000 orang.
Masalah SDM inilah yang menyebabkan proses pembangunan yang berjalan selama ini kurang didukung oleh produktivitas tenaga kerja yang memadai. Itu sebabnya keberhasilan pembangunan yang selama 32 tahun dibanggakan dengan tingkat pertumbuhan rata-rata 7%, hanya berasal dari pemanfaatan sumberdaya alam intensif (hutan, dan hasil tambang), arus modal asing berupa pinjaman dan investasi langsung. Dengan demikian, bukan berasal dari kemampuan manajerial dan produktivitas SDM yang tinggi. Keterpurukan ekonomi nasional yang berkepanjangan hingga kini merupakan bukti kegagalan pembangunan akibat dari rendahnya kualitas SDM.
Rendahnya SDM Indonesia diakibatkan kurangnya penguasaan IPTEK, karena sikap mental dan penguasaan IPTEK yang dapat menjadi subyek atau pelaku pembangunan yang handal. Dalam kerangka globalisasi, penyiapan pendidikan perlu juga disinergikan dengan tuntutan kompetisi. Oleh karena itu dimensi daya saing dalam SDM semakin menjadi faktor penting sehingga upaya memacu kualitas SDM melalui pendidikan merupakan tuntutan yang harus dikedepankan.
Salah satu problem struktural yang dihadapi dalam dunia pendidikan adalah bahwa pendidikan merupakan subordinasi dari pembangunan ekonomi. Pada era sebelum reformasi pembangunan dengan pendekatan fisik begitu dominan. Hal ini sejalan dengan kuatnya orientasi pertumbuhan ekonomi.
Sementara itu pengaruh IPTEK terhadap peningkatan SDM Indonesia khususnya dalam persaingan global dewasa ini meliputi berbagai aspek dan merubah segenap tatanan masyarakat. Aspek-aspek yang dipengaruhi, adalah sebagai berikut :
1. Dampak yang ditimbulkan oleh teknologi dalam era globalisasi. Khususnya teknologi informasi dan komunikasi, sangat luas. Teknologi ini dapat menghilangkan batas geografis pada tingkat negara maupun dunia.
2. Aspek Ekonomi. Dengan adanya IPTEK, maka SDM Indonesia akan semakin meningkat dengan pengetahuan-pengetahuan dari teknologi tersebut. Dengan kemajuan SDM ini, tentunya secara tidak langsung akan mempengaruhi peningkatan ekonomi di Indonesia. Berkaitan dengan pasar global dwasa ini, tidaklah mungkin jika suatu negara dengan tingkat SDM rendah dapat bersaing, untuk itulah penguasaan IPTEK sangat penting sekali untuk dikuasai. Selain itu, tidak dipungkiri globalisasi telah menimbulkan pergeseran nilai dalam kehidupan masyarakat di masa kini akibat pengaruh negatif dari globalisasi.
3.Aspek Sosial Budaya. Globalisasi juga menyentuh pada hal-hal yang mendasar pada kehidupan manusia, antara lain adalah masalah Hak Asasi Manusia (HAM), melestarikan lingkungan hidup serta berbagai hal yang menjanjikan kemudahan hidup yang lebih nyaman, efisien dan security pribadi yang menjangkau masa depan, karena didukung oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dampak yang timbul diakibatkannya ikatan-ikatan tradisional yang kaku, atau dianggap tidak atau kurang logis dan membosankan. Akibat nyata yang timbul adalah timbulnya fenomena-fenomena paradoksal yang muaranya cenderung dapat menggeser paham kebangsaan/nasionalisme. Hal tersebut dapat dibuktikan dengan meningkatnya tanggapan masyarakat atas kasus-kasus yang terjadi dinilai dengan didasarkan norma-norma kemanusiaan atau norma-norma sosial yang berlaku secara umum (Universal internasional).
Dari uraian diatas mengenai IPTEK dalam upaya peningkatan SDM Indonesia di era globalisasi ini, sudah jelas bahwa dengan adanya IPTEK sudah barang tentu menunjang sekali dalam kaitannya meningkatkan kualitas SDM kita. Dengan meningkatnya kualitas SDM, maka Indonesia akan lebih siap menghadapi era globalisasi dewasa ini.
Perlu sekali diperhatikan, bahwasannya dengan adanya IPTEK dalam era globalisasi ini, tidak dipungkiri juga akan menimbulkan dampak yang negatif dari berbagai aspek, baik aspek ekonomi, budaya maupun imformasi dan komunikasi, untuk itulah filtrasi sangat diperlukan sekali dalam penyerapan IPTEK, sehingga dampak negatif IPTEK dalam upaya peningkatan SDM dapat ditekan seminimal mungkin. (Disari dari berbagai sumber / dbs : Syaifud Adidharta)
Sumber :
http://regional.kompasiana.com/2011/06/16/tantangan-sdm-indonesia-di-era-globalisasi-373260.html
Era Glogal abad 21 ini sungguh memiliki banyak tantangan yang harus siap dan sigap dilakukan oleh segenap umat manusia untuk bisa berbenah diri dalam peningkatan SDM (Sumber Daya Manusia) didalamnya, termasuk pula ada upaya meningkatan kualitas dan kuantitas ekonomi.
Sumber Daya Manusia (SDM) Dan Ekonominya Rakyat Indonesia
SDM merupakan salah satu faktor kunci dalam reformasi ekonomi, yakni bagaimana menciptakan SDM yang berkualitas dan memiliki keterampilan serta berdaya saing tinggi dalam persaingan global yang selama ini kita abaikan. Dalam kaitan tersebut setidaknya ada dua hal penting menyangkut kondisi SDM Indonesia, yaitu:
1). Ketimpangan antara jumlah kesempatan kerja dan angkatan kerja.
2). Tingkat pendidikan angkatan kerja yang ada masih relatif rendah.
Kedua masalah tersebut menunjukkan bahwa ada kelangkaan kesempatan kerja dan rendahnya kualitas angkatan kerja secara nasional di berbagai sektor ekonomi. Lesunya dunia usaha akibat krisis ekonomi yang berkepanjangan sampai saat ini mengakibatkan rendahnya kesempatan kerja terutama bagi lulusan perguruan tinggi. Sementara di sisi lain jumlah angkatan kerja lulusan perguruan tinggi terus meningkat. Kesempatan kerja yang terbatas bagi lulusan perguruan tinggi ini menimbulkan dampak semakin banyak angka pengangguran sarjana di Indonesia.
Menurut catatan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Ditjen Dikti) Depdiknas angka pengangguran sarjana di Indonesia lebih dari 300.000 orang.
Fenomena meningkatnya angka pengangguran sarjana seyogyanya perguruan tinggi ikut bertanggungjawab. Fenomena penganguran sarjana merupakan kritik bagi perguruan tinggi, karena ketidakmampuannya dalam menciptakan iklim pendidikan yang mendukung kemampuan wirausaha mahasiswa.
Kenyataan ini belum menjadi kesadaran bagi bangsa Indonesia untuk kembali memperbaiki kesalahan pada masa lalu. Rendahnya alokasi APBN untuk sektor pendidikan — tidak lebih dari 12% — pada peme-rintahan di era reformasi. Ini menunjukkan bahwa belum ada perhatian serius dari pemerintah pusat terhadap perbaikan kualitas SDM. Padahal sudah saatnya pemerintah baik tingkat pusat maupun daerah secara serius membangun SDM yang berkualitas.
Orang tidak bekerja alias pengangguran merupakan masalah bangsa yang tidak pernah selesai. Ada tiga hambatan yang menjadi alasan kenapa orang tidak bekerja, yaitu hambatan kultural, kurikulum sekolah, dan pasar kerja. Hambatan kultural yang dimaksud adalah menyangkut budaya dan etos kerja.
Sementara yang menjadi masalah dari kurikulum sekolah adalah belum adanya standar baku kurikulum pengajaran di sekolah yang mampu menciptakan dan mengembangkan kemandirian SDM yang sesuai dengan kebutuhan dunia kerja. Sedangkan hambatan pasar kerja lebih disebabkan oleh rendahnya kualitas SDM yang ada untuk memenuhi kebutuhan pasar kerja.
Ekonomi abad ke-21, yang ditandai dengan globalisasi ekonomi, merupakan suatu proses kegiatan ekonomi dan perdagangan, di mana negara-negara di seluruh dunia menjadi satu kekuatan pasar yang semakin terintegrasi dengan tanpa rintangan batas teritorial negara. Globalisasi yang sudah pasti dihadapi oleh bangsa Indonesia menuntut adanya efisiensi dan daya saing dalam dunia usaha.
Dalam globalisasi yang menyangkut hubungan intraregional dan internasional akan terjadi persaingan antarnegara. Indonesia dalam kancah persaingan global menurut World Competitiveness Report menempati urutan ke-45 atau terendah dari seluruh negara yang diteliti, di bawah Singapura (8), Malaysia (34), Cina (35), Filipina (38), dan Thailand (40).
Masalah daya saing dalam pasar dunia yang semakin terbuka merupakan isu kunci dan tantangan yang tidak ringan. Tanpa dibekali kemampuan dan keunggulan saing yang tinggi niscaya produk suatu negara, termasuk produk Indonesia, tidak akan mampu menembus pasar internasional.
Dengan demikian, pada era reformasi dewasa ini, alokasi SDM masih belum mampu mengoreksi kecenderungan terciptanya konsentrasi ekonomi yang memang telah tercipta sejak pemerintahan masa lalu. Sementara di sisi lain Indonesia kekurangan berbagai keahlian untuk mengisi berbagai tuntutan globalisasi.
Dengan begitu, seandainya bangsa Indonesia tidak bisa menyesuaikan terhadap pelbagai kondisionalitas yang tercipta akibat globalisasi, maka yang akan terjadi adalah adanya gejala menjual diri bangsa dengan hanya mengandalkan sumberdaya alam yang tak terolah dan buruh yang murah. Sehingga yang terjadi bukannya terselesaikannya masalah-masalah sosial ekonomi seperti kemiskinan, pengangguran dan kesenjangan ekonomi, tetapi akan semakin menciptakan ketergantungan kepada negara maju karena utang luar negeri yang semakin berlipat.
Dampak IPTEK Terhadap SDM Indonesia
Terkait dengan kondisi sumber daya manusia Indonesia yaitu adanya ketimpangan antara jumlah kesempatan kerja dan angkatan kerja. Jumlah angkatan kerja nasional pada krisis ekonomi tahun pertama (1998) sekitar 92,73 juta orang, sementara jumlah kesempatan kerja yang ada hanya sekitar 87,67 juta orang dan ada sekitar 5,06 juta orang penganggur terbuka (open unemployment). Angka ini meningkat terus selama krisis ekonomi yang kini berjumlah sekitar 8 juta.
Kedua, tingkat pendidikan angkatan kerja yang ada masih relatif rendah. Struktur pendidikan angkatan kerja Indonesia masih didominasi pendidikan dasar yaitu sekitar 63,2 %. Kedua masalah tersebut menunjukkan bahwa ada kelangkaan kesempatan kerja dan rendahnya kualitas angkatan kerja secara nasional di berbagai sektor ekonomi. Lesunya dunia usaha akibat krisis ekonomi yang berkepanjangan sampai saat ini mengakibatkan rendahnya kesempatan kerja terutama bagi lulusan perguruan tinggi. Sementara di sisi lain jumlah angkatan kerja lulusan perguruan tinggi terus meningkat. Sampai dengan tahun 2000 ada sekitar 2,3 juta angkatan kerja lulusan perguruan tinggi. Kesempatan kerja yang terbatas bagi lulusan perguruan tinggi ini menimbulkan dampak semakin banyak angka pengangguran sarjana di Indonesia.
Menurut catatan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Ditjen Dikti) Depdiknas angka pengangguran sarjana di Indonesia lebih dari 300.000 orang.
Masalah SDM inilah yang menyebabkan proses pembangunan yang berjalan selama ini kurang didukung oleh produktivitas tenaga kerja yang memadai. Itu sebabnya keberhasilan pembangunan yang selama 32 tahun dibanggakan dengan tingkat pertumbuhan rata-rata 7%, hanya berasal dari pemanfaatan sumberdaya alam intensif (hutan, dan hasil tambang), arus modal asing berupa pinjaman dan investasi langsung. Dengan demikian, bukan berasal dari kemampuan manajerial dan produktivitas SDM yang tinggi. Keterpurukan ekonomi nasional yang berkepanjangan hingga kini merupakan bukti kegagalan pembangunan akibat dari rendahnya kualitas SDM.
Rendahnya SDM Indonesia diakibatkan kurangnya penguasaan IPTEK, karena sikap mental dan penguasaan IPTEK yang dapat menjadi subyek atau pelaku pembangunan yang handal. Dalam kerangka globalisasi, penyiapan pendidikan perlu juga disinergikan dengan tuntutan kompetisi. Oleh karena itu dimensi daya saing dalam SDM semakin menjadi faktor penting sehingga upaya memacu kualitas SDM melalui pendidikan merupakan tuntutan yang harus dikedepankan.
Salah satu problem struktural yang dihadapi dalam dunia pendidikan adalah bahwa pendidikan merupakan subordinasi dari pembangunan ekonomi. Pada era sebelum reformasi pembangunan dengan pendekatan fisik begitu dominan. Hal ini sejalan dengan kuatnya orientasi pertumbuhan ekonomi.
Sementara itu pengaruh IPTEK terhadap peningkatan SDM Indonesia khususnya dalam persaingan global dewasa ini meliputi berbagai aspek dan merubah segenap tatanan masyarakat. Aspek-aspek yang dipengaruhi, adalah sebagai berikut :
1. Dampak yang ditimbulkan oleh teknologi dalam era globalisasi. Khususnya teknologi informasi dan komunikasi, sangat luas. Teknologi ini dapat menghilangkan batas geografis pada tingkat negara maupun dunia.
2. Aspek Ekonomi. Dengan adanya IPTEK, maka SDM Indonesia akan semakin meningkat dengan pengetahuan-pengetahuan dari teknologi tersebut. Dengan kemajuan SDM ini, tentunya secara tidak langsung akan mempengaruhi peningkatan ekonomi di Indonesia. Berkaitan dengan pasar global dwasa ini, tidaklah mungkin jika suatu negara dengan tingkat SDM rendah dapat bersaing, untuk itulah penguasaan IPTEK sangat penting sekali untuk dikuasai. Selain itu, tidak dipungkiri globalisasi telah menimbulkan pergeseran nilai dalam kehidupan masyarakat di masa kini akibat pengaruh negatif dari globalisasi.
3.Aspek Sosial Budaya. Globalisasi juga menyentuh pada hal-hal yang mendasar pada kehidupan manusia, antara lain adalah masalah Hak Asasi Manusia (HAM), melestarikan lingkungan hidup serta berbagai hal yang menjanjikan kemudahan hidup yang lebih nyaman, efisien dan security pribadi yang menjangkau masa depan, karena didukung oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dampak yang timbul diakibatkannya ikatan-ikatan tradisional yang kaku, atau dianggap tidak atau kurang logis dan membosankan. Akibat nyata yang timbul adalah timbulnya fenomena-fenomena paradoksal yang muaranya cenderung dapat menggeser paham kebangsaan/nasionalisme. Hal tersebut dapat dibuktikan dengan meningkatnya tanggapan masyarakat atas kasus-kasus yang terjadi dinilai dengan didasarkan norma-norma kemanusiaan atau norma-norma sosial yang berlaku secara umum (Universal internasional).
Dari uraian diatas mengenai IPTEK dalam upaya peningkatan SDM Indonesia di era globalisasi ini, sudah jelas bahwa dengan adanya IPTEK sudah barang tentu menunjang sekali dalam kaitannya meningkatkan kualitas SDM kita. Dengan meningkatnya kualitas SDM, maka Indonesia akan lebih siap menghadapi era globalisasi dewasa ini.
Perlu sekali diperhatikan, bahwasannya dengan adanya IPTEK dalam era globalisasi ini, tidak dipungkiri juga akan menimbulkan dampak yang negatif dari berbagai aspek, baik aspek ekonomi, budaya maupun imformasi dan komunikasi, untuk itulah filtrasi sangat diperlukan sekali dalam penyerapan IPTEK, sehingga dampak negatif IPTEK dalam upaya peningkatan SDM dapat ditekan seminimal mungkin. (Disari dari berbagai sumber / dbs : Syaifud Adidharta)
Sumber :
http://regional.kompasiana.com/2011/06/16/tantangan-sdm-indonesia-di-era-globalisasi-373260.html
#4 : Pelapisan Sosial dan Kesamaan Derajat
Apalah arti sebuah derajat?
Apa yang ada dipikiran anda bila mendengar kata derajat? Didalam benak saya derajat adalah sebuah posisi dimana kedudukan kita berada, yang mampu membuat kita menjadi terpadang bila derajat kita semakin tinggi dan dipandang rendah bila derajat kita rendah. Hal ini yang bisa menempatkan strata dalam suatu lapisan masyarakat dalam segi pendidikan, ekonomi, golongan, dan sebagainya yang menempatkan posisinya manusia itu berada didalam derajatnya.
Sebagaian besar manusia yang hidup di dunia pasti mencari derajat yang lebih tinggi agar tidak dipandang sebelah mata oleh orang lain, karena keinginannya untuk mendapatkan derajat yang tinggi maka ia akan berusaha semaksimal mungkin agar derajatnya tinggi dan terpandang. Sebagai contoh kecil di Indonesia derajat dalam masalah pendidikan, ada yang namanya RSBI ( Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional ) hal ini menjadi suatu yang derajat seseorang yang masuk sekolah tersebut akan dipandang lebih dibanding seseorang yang sekolah di sekolah yang biasa-biasa saja.
Dalam hal pendidikan derajat sangat jelas menjadi perbedaan atau tingkatan yang sangat mengpengaruhi kedudukan seseorang, bila seseorang hanya lulusan SD tentu saja ia derajatnya tidak dibanding dengan seseorang yang pendidikannya lulusan doktor atau sarjana. Dalam dunia kerja juga akan perbandingan bila semakin tinggi pendidikannya maka posisi yang diterimanya semakin tinggi. Ini lah yang menjadi perbedaan derajat didalam pendidikan, terlihat bahwa pelapisan sosial yang sangat berbeda dan pandangan yang berbeda dari setiap orang.
Didalam masyarakat juga pasti ada sesuatu yang dihargai, salah satunya misalkan dalam suatu keluarga ada seorang ayah ibu dan anak, pasti ayah dan ibu dihormati oleh anaknya karena derajat ayah dan ibu lebih tinggi dari anaknya, sementara ibu menghormati ayah karena ayah pemimpin dalam keluarga dan derajatnya lebih tinggi. Ini lah kecil dari timbulnya derajat dalam keluarga yang memang tidak ditentukan secara sengaja, namun terbentuk dengan sendirinya karena memang kududukannya yang memang harus dihormati.
Ada pula dalam setiap masyarakat yang hidup dalam suatu wilayah bersamaan dalam jangka waktu cukup lama akan merasakan yang namanya kesaman derajat dimana setiap orang memandang satu sama lain dengan derajat yang sama. Terbukti dengan adanya universal Declaration of Human Right, yang lahir tahun 1948 menganggap bahwa manusia mempunyai hak yang dibawanya sejak lahir yang melekat pada dirinya. Beberapa hak itu dimiliki tanpa perbedaan atas dasar bangsa, ras, agama atau kelamin, karena itu bersifat asasi serta universal.
Hal ini membuktikan bahwa hak dan kewajiban yang menjadi tolak ukur persamaan derajat dalam suatu lapisan masyarakat yang tidak memandang tinggi rendahnya pendidikan seseorang atau kaya miskinnya harta seseorang, namum semua sama dalam hak dan kewajiban yang membuat tidak memandang dengan sebelah mata karena materi. Oleh karna itu setiap hak dan kewajiban seharusnya dilaksanakan sebaik mungkin agar terjalin hubungan yang lebih harmonis dan tidak memandang derajat karena materi seseorang saja.
Pitirim A sorokin mengatakan bahwa pelapisan sosial adalah perbedaan penduduk atau masyarakat ke dalam kelas-kelas secara bertingkat (hierarchies). Dimana kelas kelas dalam masyarakat itu dilihat dari segi pendidikan dan materi karena derajat yang rendah. Bila dipandang dari segi hak dan kewajiban, pelapisan sosial dikarenakan hak dan kewajiban yang tidak merata didalam masyarakat tersebut dan pembagian tugas yang tidak merata sehingga terjadi pelapisan sosial yang membuat derajat orang bisa dipandang tinggi dan rendah.
Banyak hal yang bisa dijadikan patokan untuk menilai tinggi atau rendahnya derajat manusia didalam pelapisan sosial namum hal ini hanyalah sebuah kedudukan yang menempatkan seseorang untuk menjalankan tugas yang diembangnya dengan tanggung jawab yang harus dilaksanakan dengan sebaik mungkin. Bukan karena derajat yang rendah jadi alasan tidak dapat melakukan suatu hal dengan baik, bila ada usaha dan keinginan derajat pun bisa kita lewati dengan kemauan yang kuat.
Tanggapan :
Pandangan saya secara pribadi derajat hanyalah kedudukan yang menentukan posisi kita sebagai manusia yang harus kita tingkatkan bukan hanya dalam segi pendidikan namun moral dan kemampuan yang tinggi, karena banyak dijaman sekarang sarjana pun kalah dengan siswa SMK/SMA yang mau berusaha dan berkemauan tinggi untuk mengubah derajatnya menjadi lebih tinggi dan dipandang lebih baik.
Sumber :
http://sosbud.kompasiana.com/2012/10/27/pelapisan-sosial-dan-kesamaan-derajat-503905.html
Apa yang ada dipikiran anda bila mendengar kata derajat? Didalam benak saya derajat adalah sebuah posisi dimana kedudukan kita berada, yang mampu membuat kita menjadi terpadang bila derajat kita semakin tinggi dan dipandang rendah bila derajat kita rendah. Hal ini yang bisa menempatkan strata dalam suatu lapisan masyarakat dalam segi pendidikan, ekonomi, golongan, dan sebagainya yang menempatkan posisinya manusia itu berada didalam derajatnya.
Sebagaian besar manusia yang hidup di dunia pasti mencari derajat yang lebih tinggi agar tidak dipandang sebelah mata oleh orang lain, karena keinginannya untuk mendapatkan derajat yang tinggi maka ia akan berusaha semaksimal mungkin agar derajatnya tinggi dan terpandang. Sebagai contoh kecil di Indonesia derajat dalam masalah pendidikan, ada yang namanya RSBI ( Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional ) hal ini menjadi suatu yang derajat seseorang yang masuk sekolah tersebut akan dipandang lebih dibanding seseorang yang sekolah di sekolah yang biasa-biasa saja.
Dalam hal pendidikan derajat sangat jelas menjadi perbedaan atau tingkatan yang sangat mengpengaruhi kedudukan seseorang, bila seseorang hanya lulusan SD tentu saja ia derajatnya tidak dibanding dengan seseorang yang pendidikannya lulusan doktor atau sarjana. Dalam dunia kerja juga akan perbandingan bila semakin tinggi pendidikannya maka posisi yang diterimanya semakin tinggi. Ini lah yang menjadi perbedaan derajat didalam pendidikan, terlihat bahwa pelapisan sosial yang sangat berbeda dan pandangan yang berbeda dari setiap orang.
Didalam masyarakat juga pasti ada sesuatu yang dihargai, salah satunya misalkan dalam suatu keluarga ada seorang ayah ibu dan anak, pasti ayah dan ibu dihormati oleh anaknya karena derajat ayah dan ibu lebih tinggi dari anaknya, sementara ibu menghormati ayah karena ayah pemimpin dalam keluarga dan derajatnya lebih tinggi. Ini lah kecil dari timbulnya derajat dalam keluarga yang memang tidak ditentukan secara sengaja, namun terbentuk dengan sendirinya karena memang kududukannya yang memang harus dihormati.
Ada pula dalam setiap masyarakat yang hidup dalam suatu wilayah bersamaan dalam jangka waktu cukup lama akan merasakan yang namanya kesaman derajat dimana setiap orang memandang satu sama lain dengan derajat yang sama. Terbukti dengan adanya universal Declaration of Human Right, yang lahir tahun 1948 menganggap bahwa manusia mempunyai hak yang dibawanya sejak lahir yang melekat pada dirinya. Beberapa hak itu dimiliki tanpa perbedaan atas dasar bangsa, ras, agama atau kelamin, karena itu bersifat asasi serta universal.
Hal ini membuktikan bahwa hak dan kewajiban yang menjadi tolak ukur persamaan derajat dalam suatu lapisan masyarakat yang tidak memandang tinggi rendahnya pendidikan seseorang atau kaya miskinnya harta seseorang, namum semua sama dalam hak dan kewajiban yang membuat tidak memandang dengan sebelah mata karena materi. Oleh karna itu setiap hak dan kewajiban seharusnya dilaksanakan sebaik mungkin agar terjalin hubungan yang lebih harmonis dan tidak memandang derajat karena materi seseorang saja.
Pitirim A sorokin mengatakan bahwa pelapisan sosial adalah perbedaan penduduk atau masyarakat ke dalam kelas-kelas secara bertingkat (hierarchies). Dimana kelas kelas dalam masyarakat itu dilihat dari segi pendidikan dan materi karena derajat yang rendah. Bila dipandang dari segi hak dan kewajiban, pelapisan sosial dikarenakan hak dan kewajiban yang tidak merata didalam masyarakat tersebut dan pembagian tugas yang tidak merata sehingga terjadi pelapisan sosial yang membuat derajat orang bisa dipandang tinggi dan rendah.
Banyak hal yang bisa dijadikan patokan untuk menilai tinggi atau rendahnya derajat manusia didalam pelapisan sosial namum hal ini hanyalah sebuah kedudukan yang menempatkan seseorang untuk menjalankan tugas yang diembangnya dengan tanggung jawab yang harus dilaksanakan dengan sebaik mungkin. Bukan karena derajat yang rendah jadi alasan tidak dapat melakukan suatu hal dengan baik, bila ada usaha dan keinginan derajat pun bisa kita lewati dengan kemauan yang kuat.
Tanggapan :
Pandangan saya secara pribadi derajat hanyalah kedudukan yang menentukan posisi kita sebagai manusia yang harus kita tingkatkan bukan hanya dalam segi pendidikan namun moral dan kemampuan yang tinggi, karena banyak dijaman sekarang sarjana pun kalah dengan siswa SMK/SMA yang mau berusaha dan berkemauan tinggi untuk mengubah derajatnya menjadi lebih tinggi dan dipandang lebih baik.
Sumber :
http://sosbud.kompasiana.com/2012/10/27/pelapisan-sosial-dan-kesamaan-derajat-503905.html
Tugas #4 : Agama dan Masyarakat
PLURALISME AGAMA
Pluralisme agama menjadi hal yang unik hingga saat ini, karena ia menjanjikan hal-hal tentang kehidupan damai dan rukun antar masyarakat yang berbeda, terutama agama. Tentu saja bagi masyarakat majemuk seperti Indonesia hal ini mendapat respon yang sangat bagus juga.
Pluralisme agama hadir sebagai penyelamat diantara adanya perpecahan terhadap klaim-klaim kebenaran absolute diantara beberapa agama yang ada, setiap agama mengklaim dirinya yang paling benar dan yang lain sesat semua.
Pluralisme agama hadir sebagai penyelamat diantara adanya perpecahan terhadap klaim-klaim kebenaran absolute diantara beberapa agama yang ada, setiap agama mengklaim dirinya yang paling benar dan yang lain sesat semua.
Problem waktu dan sejarah memang yang telah mengantarkan hal semacam pluralisme agama ini ada dan bila kita dapat menyangsikan bahwa sejarah telah berkata sedemikian rupa pluralitas itu wajar adanya. Pada saat ini muncul sebagai sesuatu tantangan baru bagi masyarakat modern, untuk dapat menerimanya dalam fakta social yang sedang berkembang.
Manusia sebagai pelaku dari masyarakat memang harus menyangsikan kenyataan yang ada pada zaman seperti saat ini, manusia tidak lagi hidup sendiri dalam suatu komunitas agamanya akan tetapi mereka saling berdampingan dengan berbagai penganut agama yang berbeda dalam satu Negara, satu wilayah, satu kota, dan bahkan dalam satu perkampungan yang sama.
Fenomena demikian bagi masyarakat yang belum terbiasa dan belum memiliki pengalaman dalam berkoeksistensi damai, tentu akan menimbulkan problematika tersendiri, sehinga mau tidak mau memaksa para ahli dari berbagai disiplin ilmu untuk memformulasikan suatu solusi yang jitu untuk dapat merespon problematika tersebut.
Gagasan kesetaraan agama atau yang sering disebut Pluralisme agama, dalam perjalanan waktunya menimbulkan berbagai macam arti dan pengertian terhadapnya, penerimaan terhadap ide ini ataupun sebaliknya masih tetap menjadi pergulatan sampai saat ini. Untuk itu, sebaiknya dalam pembahasan terhadap gagasan ini seharusnya dapat melihat secara luas terhadap dampak yang telah nyata terbukti menjadikan ummat beragama menjadi rukun dan dapat menjalankan roda kehidupan dengan baik dan berdampingan.
Definisi Pluralisme Agama
Secara etimologis, pluralisme agama berasal dari dua kata yaitu “pluralisme” dan “agama”. Dalam bahasa arab diterjemahkan “al-ta`addudiyah al-diniyyah” dan dalam bahasa inggris “religious pluralism”. Dengan terminologi yaitu koeksistensi berbagai kelompok atau keyakinan di satu waktu dengan tetap terpeliharanya perbedaan-perbedaan dan karakteristik masing-masing.
Sementara itu definisi dari agama dalam wacananya agak mengalami kesulitan tersendiri, bahkan hampir mustahil untuk dapat mendefinisikan agama yang bias diterima atau disepakati semua kalangan. Untuk itu setidaknya ada tiga cara pendekatan yaitu segi fungsi, institusi, dan subtansi.
Para ahli sejarah, cenderung mendefinisikan agama sebagai suatu institusi historis. Para ahli di bidang sosiologi dan antropologi cenderung mendefinisikan agama dari sudut fungsi sosialnya. Pakar teologi, fenomenologi, dan sejarah agama melihat agama dari aspek substansinya yang sangat asasi yaitu sesuatu yang sakral. Pada hakikatnya ketiga pendekatan itu tidak saling bertentangan, melainkan saling melenyempurnakan dan melengkapi, khususnya jika menginginkan agar pluralism agama didefinisikan sesuai kenyatan objektif di lapangan.
Dan jika “pluralisme” dirangkai dengan “agama” sebagai predikatnya , maka berdasarkan pemahaman tersebut di atas bias dikatakan bahwa pluralism agama adalah kondisi hidup bersama (koeksistensi) antar agama (dalam arti yang luas) yang berbeda-beda dalam satu komunitas dengan tetap mempertahankan cirri-ciri spesifik atau ajaran masing-masing agama.
Pandangan Nurcholis Madjid terhadap Pluralisme Agama adalah adanya tiga sikap dialog agama yang dapat diambil :
1. Sikap eksklusif dalam melihat agama lain Agama-agama lain adalah jalan yang salah, yang menyesatkan
umat.
2.Sikap inklusif Agama-agama lain adalah bentuk implisit agama kita.
3. Sikap pluralis Bisa terekspresikan dalam macam-macam rumusan, misalnya
Agama-agama lain adalah jalan yang sama-sama sah untuk mencapai kebenaran yang sama, “Agama-agama lain berbicara secara berbeda, tetapi merupakan kebenaran yang sama sah”, atau “ Setiap agama mengekspresikan bagian penting bagi sebuah kebenaran”.
2.Sikap inklusif Agama-agama lain adalah bentuk implisit agama kita.
3. Sikap pluralis Bisa terekspresikan dalam macam-macam rumusan, misalnya
Agama-agama lain adalah jalan yang sama-sama sah untuk mencapai kebenaran yang sama, “Agama-agama lain berbicara secara berbeda, tetapi merupakan kebenaran yang sama sah”, atau “ Setiap agama mengekspresikan bagian penting bagi sebuah kebenaran”.
Sebagai sebuah pandangan keagamaan, pada dasarnya Islam bersifat inklusif dan merentangkan tafsirannya ke arah yang semakin pluralis. Jadi, pluralisme sesungguhnya adalah sebuah aturan Tuhan (sunnatullah) yang tidak akan berubah, sehingga tidak mungkin dilawan atau diingkari.
Masalah Islam vis a vis pluralisme adalah masalah bagaimana kaum muslim mengadaptasi diri dengan dunia modern. Dan ini, pada gilirannya, melibatkan masalah bagaimana mereka memandang dan menilai sejarah Islam, dan bagaimana mereka melihat dan menilai perubahan dan keharusan membawa masuk nilai-nilai Islam yang normatif dan universal ke dalam dialog dengan realitas ruang dan waktu.
Menurut Wilfred Cantwell Smith, Pluralisme Agama merupakan tahapan baru yang sedang dialami pengalaman dunia menyangkut agama. Syarat utama tahapan ini ialah kita semua diminta untuk memahami tradisi-tradisi keagamaan lain di samping tradisi keagamaan kita sendiri. Membangun teologi di dalam benteng satu agama sudah tidak memadai lagi. Smith mengawali pernyataan teologisnya tentang pluralisme agama dengan menjelaskan adanya implikasi moral dan juga implikasi konseptual wahyu. Pada tingkat moral, wahyu Tuhan mestilah menghendaki rekonsiliasi dan rasa kebersamaan yang dalam. Sementara, pada taraf konseptual wahyu Smith mulai dengan menyatakan bahwa setiap perumusan mengenai iman suatu agama harus juga mencakup suatu doktrin mengenai agama lain.
Pendirian teologis tersebut oleh Smith dimasukannya ke dalam analisis mengenai cara kita menggunakan istilah agama. Dalam karya klasiknya yang berjudul The Meaning and End of Religion Smith menjelaskan bahwa penggunaan teologi yang eksklusif mengakibatkan agama orang lain dipandang sebagai penyembahan berhala dan menyamakan Tuhan mereka dengan dewa. Sebagai contoh, Smith mengutip pernyataan teolog Kristen bernama Emil Brunner yang menyatakan bahwa Tuhan dari agama-agama lain senantiasa merupakan suatu berhala. Demikian juga bagi beberapa kaum Muslim, Yesus sebagai kristus adalah suatu berhala.
Contoh-contoh mengenai sikap eksklusif seperti itu adalah contoh dari keangkuhan agama yang tidak dapat kita terima. Semua agama mengarah kepada tujuan akhir yakni Tuhan. Smith menulis: Tuhan adalah tujuan akhir agama juga dalam pengertian bahwa begitu Dia tampil secara gambling di hadapan kita , dalam kedalaman dan kasih-Nya , maka seluruh kebenaran lainnya tak heni-hentinya memudar; atau sekurang-kurangnya hiasan agama jatuh ke bumi, tempatnya yang seharusnya, dan konsep agama ‘berakhir’.
Smith merasa bahwa pemahaman mengenai agama ini diperlukan jikalau kita ingin berlaku adil terhadap dunia tempat kita hidup dan terhadap Tuhan sebagaimana di wahyukan oleh agama yang kita anut. Semua agama, entah itu Islam, Kristen, Hindu, Buddha dan sebagainya, hendaknya harus dipahami sebagai suatu perjumpaan yang penting dan berubah-ubah antara yang Illahi dan manusia. Dengan pemahaman ini, Smith mengharapkan adanya toleransi antar umat beragama yang berbeda-beda tersebut.
Dengan demikian pluralisme agama telah mencapai titik keniscayaannya, dalam pengertian terhadap pendefinisiannya, agama memang memiliki peran normatif maupun historis, akan tetapi bagaimana agar agama tidak menjadi suatu perselisihan tentang mana yang benar dan mana yang salah akan tetapi menuju kepada pemahaman ekslusif terhadap agama itu sendiri dan inklusif terhadap agama lain, sehingga dapat dicapai pluralitas terhadap agama dan berefek kepada toleransi dan kedamaian dalam berkehidupan yang koeksistensi ini.
Kita memang terlalu jauh terbawa arus latar belakang dan sejarah perkembangan pluralisme agama yang sangat dilematis-kompleks, tanpa melihat sisi waktu yang mengarahkan kepada hal-hal yang lebih luas. Seperti dapat dipahami bersama bahwa zaman dulu dengan sekarang tampaknya sudah agak jauh berbeda, sekarang manusia sudah harus menjalani hidupnya berdampingan anatara satu dengan yang lainnya dengan keberagaman agama yang dianut oleh masing-masing manusia. Hal ini menimbulkan pergeseran nuansa pemahaman kembali terhadap agama yang dibawa manusia tersebut.
Pluralisme agama telah melahirkan tren-nya dan implikasi yang luas, hal ini mungkin yang agak tidak disukai oleh beberapa kalangan, mulai dari sentralitas manusia, sekularisme sebagai asas agar dapat berdampingan antar ummat beragama, transformasi pemusatan agama menuju pemusatan Tuhan, terjadinya sinkretisme sampai pada terminasi agama-agama hingga munculnya agama baru.
Dalam kompleksitas keragaman ummat beragama sekiranya dapat dipahami bahwa pluralisme agama sangatlah wajar, kalaupun tidak diterima trus akan menimbulkan pertanyaan-pertanyaan baru. Apa solusi yang dapat diberikan untuk dapat menjaga citra baik antara ummat beragama yang berbeda-berbeda ini?. Dengan tidak mengatakan kebenaran absolut bagi agama masing-masing, toh kebenaran milik Tuhan, dan kebenaran Tuhan ditafsirkan menurut zamannya dan para penafsirnya.
Adanya keberagaman pemeluk semua agama atau pemeluk agama beda paham untuk dapat membangun kesadaran bersama akan tujuan mulia semua agama. Dengan cara demikian, agar dapat terbuka peluang dan ruang dialog kemanusiaan bagi pemeluk semua agama, sehingga dimungkinkan pengembangan praktik keberagaman yang lebih santun dan manusiawi.
Tanggapan :
Sejak jaman para Nabi juga sudah dikenal namanya pluralisme agama, saat ini juga sudah dibuat Undang-Undang Dasar yang membahas tentang kebebasan warga negara dalam meganut agama dan kepercayaan yang dia yakini. Jadi menurut saya, pluralisme itu adalah hal yang wajar. Untuk urusan agama semuanya bergantung pada pribadinya masing-masing, karena kita tidak bisa menyatukan suatu akhak suatu agama dengan agama lain, sama halnya seperti mencampurkan ideologi pancasila dan ideologi komunis, tentunya hal itu tidak akan pernah bisa disatukan. Jadi, hal yang penting untuk menjaga kedamaina ditengah-tengah pluralisme agama adalah dengan cara saling menghormati dan menghargai setiap ajaran agama, jagan juga mencampur adukan akhlak suatu agama dengan agama lain.
Sumber :
http://filsafat.kompasiana.com/2012/06/09/pluralisme-agama-469600.html
Tugas #3 : Ilmu Pengetahuan Teknologi dan Kemiskinan
KEMISKINAN DAN HEGEMONI
MUNGKIN ketika anda membaca sekilas tentang kata kemiskinan diatas yang menjadi judul artikel ini, ada sebuah perasaan atau pikiran kuat yang kemudian mengartikan adanya sebuah arti tentang ketidakmampuan, ketidakberdayaan, dan kelemahan atau bahkan sebuah nasib yang melekat kepada seorang manusia yang kurang beruntung. Ya, begitu banyak konotasi minus yang bisa diartikan dari kata diatas. Secara teori, kemiskinan adalah sebuah keadaan yang sedang terjadi karena adanya sebuah keterbatasan dalam mencapai taraf kepuasan fisik maupun non fisik yang dialami oleh satu atau golongan manusia dalam mencapai taraf kehidupannya yang sempurna. Hampir bisa dipastikan, bahwa tidak ada satu manusia pun yang hidup di dunia ini menyenangi dengan keadaan seperti dijelaskan diatas. Hampir pasti semua manusia menginginkan sebuah keadaan dimana segala kebutuhan fisik maupun non fisik dapat terpenuhi.
Kemiskinan, semenjak peradaban manusia mengenal tolak ukur hegemoni kehidupannya adalah sebuah momok nasib yang sangat dihindari. Ada banyak persepsi yang menghubungkan suatu keadaan dimana seorang manusia bisa dikategorikan miskin, tentu saja hal ini bukan saja terlihat dari aspek ekonomi belaka, ada aspek budaya, moral, pengetahuan, sumberdaya, dan sebagainya. Banyak orang yang berpersepsi ketika mendengar dan menyebut kata ini, seakan akan hal itu adalah sebuah keadaan yang harus diterima oleh manusia yang bersangkutan, dan kemiskinan selalu dianggap sebagai ekses (baca:imbas) dari adanya satu golongan yang lebih kaya, lebih bisa, dan lebih mampu dari orang yang lebih miskin, lebih lemah dan lebih terbatas dalam taraf pencapaian kepuasan kehidupannya. Celakanya, terkadang adanya anggapan tersebut menjadi pembenaran dalam melakukan kesewenangan perilaku, pelanggaran nilai keadilan, atau bahkan penindasan oleh satu manusia kepada manusia lainnya. Dalam prinsip nilai kemanusiaan dan solidaritas, tidak ada satu pun alasan yang bisa membenarkan segala tindakan yang merendahkan derajat nilai penghormatan manusia antar manusia lainnya dari adanya ekses perbedaan tersebut.
Betapa jika direnungkan dengan realita yang sedang populis saat ini, dimana kemiskinan menjadi sebuah real factual yang mesti dihadapi oleh segenap umat manusia. Tentu saja bukan hanya kemiskinan pencapaian taraf ekonomi saja, namun bangsa Indonesia saat ini dihadapkan kepada kemiskinan moral yang akut, kemiskinan derajat kemajuan IPTEK , dan kemiskinan kedaulatan bangsa. Bangsa ini dihadapkan kepada persoalan yang serius yang terus menerus menjadi buaian perilaku minus pemerintah terhadap warganya, eksekutif kepada rakyatnya, kaum capital kepada pekerja buruhnya.
Dari bidang ekonomi sampai dengan pendidikan pun, harus kita sadari Bangsa Indonesia saat ini telah terjerumus system kemafiaan atau system jual beli (Komersialisasi) yang dominan, dimana peran tolak ukur nilai kesejahteraan yang lebih kuat dapat lebih leluasa memutuskan keadaan. Masih di ingat oleh penulis dalam beberapa bulan kebelakang, ada salah satu Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri, yang mewajibkan pemilikan notebook/laptop bagi setiap siswa yang baru mendaftarkan diri, atau beberapa sekolah yang membebankan tarif sangat tinggi kepada orang tua calon siswa yang akan mendaftar di sekolah yang berstatus RSBI (Rintisan Sekolah Berstandar Internasional ) dan alasan pihak sekolah saat itu, mahalnya biaya tersebut untuk menutupi biaya operasional sekolah yang tinggi, padahal sebenarnya beban biaya sekolah – sekolah tersebut ditanggung oleh dana kompensasi Pendidikan yang bersumber dari APBD dan APBN yang besaran nominalnya tak sedikit.
Ketika melihat realita diatas, dimana sense of justice yang bisa diperoleh warga negara, kemanakah jaminan pemenuhan hak bagi rakyat miskin, bahkan dalam memperoleh jaminan penyelenggaraan pendidikan saja sangat terbatasi oleh pengkotakan kemampuan ekonomi (bukan kemampuan otak). Ironis memang, ketika Bangsa ini yang secara teori dan persepsi seharusnya adalah Negara yang berdaulat dan merdeka namun belum mampu menyelenggarakan kemerdekaan apalagi menjamin kedaulatan hidup yang hakiki bagi golongan warganya yang tersingkirkan (warga marginal).
Bangsa ini masih terus membutuhkan sumbangsih pembelaan terhadap warga marginal yang tidak tercapai hak-haknya, siapa lagi jika bukan kita yang mengetahui dan wajib mengerti tentang kewajibannya terhadap nilai kemanusiaan melalui penyadaran dan pendewasaan nilai-nilai kerakyatan. Dijelaskan oleh Martin Luther King Jr (seorang aktivis Hak sipil dan Peraih nobel perdamaian tahun 1964, berkewarganegaraan Amerika serikat) bahwa Kemerdekaan tidak diberikan begitu saja oleh pihak penindas, karena itu sang tertindaslah yang harus memperjuangkannya. Ketika ada sebuah keadaan dimana letak perbedaan pencapaian nasib kehidupan seseorang semakin mengemuka, bukan berarti keadaan tersebut dijadikan control parts of hegemonies ( Alat Kontrol Hegemoni ) dalam menentukan baik buruk kehidupan orang lain.(Awan)
Tanggapan :
Dengan berbagai perkembangan Ilmu Pengetahuan Teknologi atau IPTEK saat ini dapat menimbulkan beberapa permasalahan dalam masyarakat, diantaranya adalah adanya kesenjangan sosial diantara masyarakat. Kesenjangan antara si kaya dan si miskin, karena pada realitanya pada saat ini di Indonesia, yang bisa menikmati IPTEK hanyalah orang yang kaya atau paling tidak sederhana. Sehingga jangankan si 'Miskin' bisa menikmati fasilitas IPTEK yang saat ini berkembang , mengerti saja tidak. Tentunya ini akan meningkatkan kekontrasan di lingkungan antara masyarakat yang kaya dan masyarakat yang miskin.
Sumber :
http://politik.kompasiana.com/2011/11/09/kemiskinan-dan-hegemoni-411057.html
Tugas #2 : Pertentangan Sosial dan Integrasi Masyarakat
KASUS MESUJI DAN PAPUA : PENJAJAHAN ALA VOC
Pembukaan Undang-undang Dasar 1945 dengan jelas menyatakan bahwa tujuan dari bernegara Indonesia adalah melindungi segenap tumpah darah Indonesia. Namun, yang terjadi di Mesuji Lampung atau Perusahaan Pertambangan di Papua menunjukan bahwa tugas mulia ini gagal. Negara bukanlah melindungi warga negara tetapi melindungi coorperasi atau pemilik modal yang dengan kekuasaan uangnya dapat memerintahkan aparat membunuh warga negara atau rakyat yang seharusnya dilindunginya.
Ini artinya kemerdekaan 17 Agustus 1945 tidak ada artinya. Karena Indonesia masih dijajah. Dijajah dengan cara yang sama seperti apa yang dilakukan VOC dulu. Indonesia tidaklah dijajah atau dianeksasi oleh sebuah negara, tetapi Indonesia dijajah oleh perusahan-perusahan swasta asing.
Sebuah daerah dikatakan dijajah jika bumi dan kekayaan alamnya kaya tetapi rakyat sekitarnya tidak dapat menikmati dan masih berada di garis kemiskinan. Papua adalah provinsi kaya di Indonesia, dari minyak, tembaga hingga emas ada di Papua. Tetapi apa yang terjadi di bumi Papua hari ini. Bedasarakan sensus terbaru dari Badan Pusat Statistik Papua Barat dan Papua adalah provinsi termiskin di Indonesia. Prosentase angka kemiskinan di dua Provinsi ini mencapai 34-36 persen, jauh lebih besar dibandingkan rata-rata nasional sebesar 13,33 persen. Belum lagi masalah diskriminasi terhadap orang Papua asli, yang mengingatkan kita kepada diskriminasi yang sama dilakukan terhadap pribumi di zaman colonial dahulu.
Lampung sendiri adalah provinsi termiskin di Sumatera berdasarkan data Kementerian Sosial (Kemsos) tahun 2010. Di Provinsi Lampung terdapat 211.943 keluarga fakir miskin, atau menempati posisi tertinggi di antara 9 provinsi yang ada di Pulau Sumatera. Kabupaten Mesuji sebagai kabupaten hasil pemekaran yang mengandalkan ekonominya pada sector pertanian juga termasuk salah satu kabupaten termiskin di Lampung.
Neo-VOC
Kekuasaan pemilik modal di Indonesia saat ini sama persisnya apa yang dilakuan sebuah perusahaan swasta Belanda yang bernama Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC). VOC atau kompeni sejatinya sama dengan perusahaan sawit di Mesuji dan perusahaan tambang di Papua, mengeksploitasi bumi Indonesia, dan jika menghalanginya membayar centeng pribumi dan menyogok penguasa local untuk membasmi warga.
Pola hubungan centeng, aparat dan perusahan swasta asing di Indonesia selalu ada sejak zaman VOC hingga detik ini, menjaga pemilik modal dalam aktivitasnya mengekspolitasi bumi Indonesia. Perlawanan yang dilakukan rakyat Mesuji atau Papua, sebenarnya sama seperti yang dilakukan Si Pitung di Betawi, Sultan Hasanudin di Maksar dan Patimura di Ambon. Mereka bukanlah melawan tentara kerajaan Belanda, tetapi mereka melawan perusahaan asing miling Belanda yang bernama VOC. Mereka melawan pasukan VOC yang direkrut dari pribumi sendiri. Sebuah pola yang sama ketika perusahan tambang di Papua membayar polisi untuk menembak warga asli Papua yang hanya bisa melihat kekayaan alamnya diambil.
Indonesia seolah-olah saat ini hidup tanpa negara tanpa pemerintah. Hukum tidak ditegakkan di satu sisi yang lain kebebasan politik dan ekonomi diberikan. Akibatnya uanglah yang menjadi penguasa. Korupsi merajalela, karena yang dipikir para politisi adalah bagaimana menganti ongkos politik yang telah dikeluarkan dalam pemilu dan pilkada.
Neo-Amangkurat 1
Politisi Indonesia saat ini sikapnya sama seperti apa yang dilakukan Amangkurat 1 pada zaman penjajahan dahulu. Menjadi pelindung VOC dan mendapat keuntungan dari relasi bisnis dan kekuasaan. Apa yang dilakukan politisi pusat hingga local dengan kasus korupsinya yang melibatkan kongkolikong dengan pihak pemilik modal persis sama seperti apa yang dilakuan oleh Amangkurat 1 dan VOC.
Pejabat public yang seharusnya melindungi warganya, malahan dengan kekuasaan yang dimilikinya menjadi penjaga pemilik modal dengan nama investasi dan kontrak karya. Tender dan kontrak pemeritah dari pusat hingga daerah menjadi sarana balik modal dan kongkolikong dengan pemilik modal.
Kasus Nazarudin, kasus korupsi Kementerian Tenaga Kerja, kasus badan anggaran merupakan indikasi bahwa politisi model Amangkurat 1 yang menjual negaranya masih menjadi watak politisi kita.
Cita-cita para founding father kita untuk bernegara untuk menghapus penjajahan dan melindingi warga negara ternyata belumlah berhasil. Untuk itu, Indonesia memang masih butuh sebuah gerakan perlawanan melawan penjajahan. Kita butuh pahlawan yang mewarisi semangat si Pitung, Sultan Hasanudin, Patimura dan Pahlawan yang lainnya untuk melawan penjajahan ala VOC ini.
Ini artinya kemerdekaan 17 Agustus 1945 tidak ada artinya. Karena Indonesia masih dijajah. Dijajah dengan cara yang sama seperti apa yang dilakukan VOC dulu. Indonesia tidaklah dijajah atau dianeksasi oleh sebuah negara, tetapi Indonesia dijajah oleh perusahan-perusahan swasta asing.
Sebuah daerah dikatakan dijajah jika bumi dan kekayaan alamnya kaya tetapi rakyat sekitarnya tidak dapat menikmati dan masih berada di garis kemiskinan. Papua adalah provinsi kaya di Indonesia, dari minyak, tembaga hingga emas ada di Papua. Tetapi apa yang terjadi di bumi Papua hari ini. Bedasarakan sensus terbaru dari Badan Pusat Statistik Papua Barat dan Papua adalah provinsi termiskin di Indonesia. Prosentase angka kemiskinan di dua Provinsi ini mencapai 34-36 persen, jauh lebih besar dibandingkan rata-rata nasional sebesar 13,33 persen. Belum lagi masalah diskriminasi terhadap orang Papua asli, yang mengingatkan kita kepada diskriminasi yang sama dilakukan terhadap pribumi di zaman colonial dahulu.
Lampung sendiri adalah provinsi termiskin di Sumatera berdasarkan data Kementerian Sosial (Kemsos) tahun 2010. Di Provinsi Lampung terdapat 211.943 keluarga fakir miskin, atau menempati posisi tertinggi di antara 9 provinsi yang ada di Pulau Sumatera. Kabupaten Mesuji sebagai kabupaten hasil pemekaran yang mengandalkan ekonominya pada sector pertanian juga termasuk salah satu kabupaten termiskin di Lampung.
Neo-VOC
Kekuasaan pemilik modal di Indonesia saat ini sama persisnya apa yang dilakuan sebuah perusahaan swasta Belanda yang bernama Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC). VOC atau kompeni sejatinya sama dengan perusahaan sawit di Mesuji dan perusahaan tambang di Papua, mengeksploitasi bumi Indonesia, dan jika menghalanginya membayar centeng pribumi dan menyogok penguasa local untuk membasmi warga.
Pola hubungan centeng, aparat dan perusahan swasta asing di Indonesia selalu ada sejak zaman VOC hingga detik ini, menjaga pemilik modal dalam aktivitasnya mengekspolitasi bumi Indonesia. Perlawanan yang dilakukan rakyat Mesuji atau Papua, sebenarnya sama seperti yang dilakukan Si Pitung di Betawi, Sultan Hasanudin di Maksar dan Patimura di Ambon. Mereka bukanlah melawan tentara kerajaan Belanda, tetapi mereka melawan perusahaan asing miling Belanda yang bernama VOC. Mereka melawan pasukan VOC yang direkrut dari pribumi sendiri. Sebuah pola yang sama ketika perusahan tambang di Papua membayar polisi untuk menembak warga asli Papua yang hanya bisa melihat kekayaan alamnya diambil.
Indonesia seolah-olah saat ini hidup tanpa negara tanpa pemerintah. Hukum tidak ditegakkan di satu sisi yang lain kebebasan politik dan ekonomi diberikan. Akibatnya uanglah yang menjadi penguasa. Korupsi merajalela, karena yang dipikir para politisi adalah bagaimana menganti ongkos politik yang telah dikeluarkan dalam pemilu dan pilkada.
Neo-Amangkurat 1
Politisi Indonesia saat ini sikapnya sama seperti apa yang dilakukan Amangkurat 1 pada zaman penjajahan dahulu. Menjadi pelindung VOC dan mendapat keuntungan dari relasi bisnis dan kekuasaan. Apa yang dilakukan politisi pusat hingga local dengan kasus korupsinya yang melibatkan kongkolikong dengan pihak pemilik modal persis sama seperti apa yang dilakuan oleh Amangkurat 1 dan VOC.
Pejabat public yang seharusnya melindungi warganya, malahan dengan kekuasaan yang dimilikinya menjadi penjaga pemilik modal dengan nama investasi dan kontrak karya. Tender dan kontrak pemeritah dari pusat hingga daerah menjadi sarana balik modal dan kongkolikong dengan pemilik modal.
Kasus Nazarudin, kasus korupsi Kementerian Tenaga Kerja, kasus badan anggaran merupakan indikasi bahwa politisi model Amangkurat 1 yang menjual negaranya masih menjadi watak politisi kita.
Cita-cita para founding father kita untuk bernegara untuk menghapus penjajahan dan melindingi warga negara ternyata belumlah berhasil. Untuk itu, Indonesia memang masih butuh sebuah gerakan perlawanan melawan penjajahan. Kita butuh pahlawan yang mewarisi semangat si Pitung, Sultan Hasanudin, Patimura dan Pahlawan yang lainnya untuk melawan penjajahan ala VOC ini.
Tanggapan :
Saya sangat perihatin dengan kasus seperti ini, seperti pada postingan saya sebelumnya perihal "Miskin di Tanah yang Kaya ", mau sampai kapan bangsa ini terus seperti itu. Kita seolah-olah sebagai orang asing di negara sendiri, tidak bisa leluasa untuk menikmati sumber daya alam yang disediakan Indonesia. Saat ini, bila ingin menikmati sumber daya itu, harus ada pertumpahan darah atau apabila ingin cari aman kita diharuskan untuk 'kaya'. Saya bingung mengapa kebanyakan masyarakat di Indonesia saat ini seperti mengilhami hukum rimba ( yang kuat -dalam artian yang kaya- maka dia yang menang ), dimana letak keadilan ? Dimana letak rasa kemanusiaan ?
Sumber :
http://politik.kompasiana.com/2011/12/22/kasus-mesuji-dan-papua-penjajahan-ala-voc-424184.html
Sumber :
http://politik.kompasiana.com/2011/12/22/kasus-mesuji-dan-papua-penjajahan-ala-voc-424184.html
Tugas #1 : Masyarakat perkotaan dan masyarakat pedesaan
Masyarakat secara garis besar dapat dibedakan menjadi masyarakat perkotaan dan masyarakat pedesaan. Masyarakat perkotaan adalah sekumpulan orang yang tinggal di suatu tempat yang kehidupannya sudah serba modern. Sedangkan jelas kalau masyarakat pedesaan itu kehidupannya serba sederhana dan jauh dari serba modern.
Sedangkan untuk masyarakat pedesaan, seperti yang ada dalam buku Sosiologi karangan Ruman Sumadilaga seorang ahli Sosiologi, menggambarkan masyarakat desa sebagai masyarakat tradisional yang mengenal ciri-ciri masarakat desa sebagai berikut :
a. Afektifitas ada hubungannya dengan perasaan kasih sayang, cinta, kesetiaan, dan kemesraan. Perwujudannya dalam sikap dan perbuatan tolong menolong, menyatakan simpati terhadap musibah yang diderita orang lain dan menolongnya tanpa pamrih.
b. Orientasi kolektif sifat ini merupakan konsekuensi dari Afektifitas, yaitu mereka mementingkan kebersamaan tidak suka menonjolkan diri, tidak suka akan orang yang berbeda pendapat, intinya semua harus memperlihatkan keseragaman persamaan.
c. Partikularisme pada dasarnya adalah semua hal yang ada hubungannya dengan keberlakuan khusus untuk suatu tempat atau daerah tertentu. Perasaan subyektif, perasaan kebersamaan sesungguhnya yang hanya berlaku untuk kelompok tertentu saja. (lawan dari Universalisme)
d. Askripsi yaitu berhubungan dengan mutu atau sifat khusus yang tidak diperoleh berdasarkan suatu usaha yang tidak disengaja, tetapi merupakan suatu keadaan yang sudah merupakan kebiasaan atau keturunan.(lawanya prestasi).
e. Kekabaran (diffuseness), yaitu sesuatu yang tidak jelas terutama dalam hubungan antara pribadi tanpa ketegasan yang dinyatakan eksplisit. (dikutip dari http://wawan-junaidi.blogspot.com/ )
Demikian tulisan dari saya, mohon maaf jikalau ada kesalahan-kesalahan dalam menyampaikan aspirasi saya. Sekian dan terima kasih atas perhatiannya.
Antara masyarakat perkotaan dan masyarakat pedesaan tentu ada kaitannya dalam kehidupan sehari-hari, tidak ada alasan antara kota dan desa di jadikan bahan untuk tidak saling membutuhkan,
Contoh Studi Kasus Antara masyarakat Perkotaan dan Pedesaan
contohnya dalam lapangan pekerjaan, sebagian besar masyarakat pedesaan lebih tertarik untuk mencari nafkah di kota, karena di kota lebih luas lapangan kerjanya dari pada di desa, lain halnya masyarakat kota yang selalu memilih tempat liburan ketika ingin mendinginkan fikiran dan hati karena padatnya kehidupan di kota kebanyakan memilih berliburan di daerah - daerah pedesaan.
Tanggapan :
Masyarakat pedesaan dan perkotaan bukanlah dua komunitas yang terpisah sama sekali satu sama lain. Bahkan terdapat hubungan uang erat, bersifat ketergantungan, karena saling membutuhkan, kota tergantung desa dalam memenuhi kebutuhan warganya akan bahan-bahan pangan, desa juga merupakan tenaga kasar pada jenis-jenis pekerjaan tertentu di kota. Sebaliknya, kota menghasilkan barang-barang yg juga diperlukan oleh orang desa, kota juga menyediakan tenaga-tenaga yang melayani bidang-bidang jasa yg dibutuhkan oleh orang desa.
Jadi intinya, masyarakat perkotaan secara tidak langsung membutuhkan adanya masyarakat pedesaan, begitu pula dengan sebaliknya, masyarakat pedesaan juga membutuhkan keberadaan masyarakat perkotaan, meskipun keduanya memiliki perbedaan ciri-ciri dan aspek-aspek yang terdapat di dalam diri mereka. Keduanya memiliki aspek positif dan aspek negatif yang saling mempengaruhi keduanya dan saling berkesinambungan.
Sumber :
http://gfebriani18.blogspot.com/2012/10/masyarakat-perkotaan-dan-masyarakat.html
Senin, 21 Januari 2013
Cinta Sejati - OST Habibie & Ainun
Manakala hati menggeliat mengusik renungan
Mengulang kenangan saat cinta menemui cinta
Suara sang malam dan siang seakan berlagu
Dapat aku dengar rindumu memanggil namaku
Saat aku tak lagi di sisimu
Ku tunggu kau di keabadian
Aku tak pernah pergi, selalu ada di hatimu
Kau tak pernah jauh, selalu ada di dalam hatiku
Sukmaku berteriak, menegaskan ku cinta padamu
Terima kasih pada maha cinta menyatukan kita
Saat aku tak lagi di sisimu
Ku tunggu kau di keabadian
Cinta kita melukiskan sejarah
Menggelarkan cerita penuh suka cita
lyricsalls.blogspot.com
Sehingga siapa pun insan Tuhan
Pasti tahu cinta kita sejati
Saat aku tak lagi di sisimu
Ku tunggu kau di keabadian
Cinta kita melukiskan sejarah
Menggelarkan cerita penuh suka cita
Sehingga siapa pun insan Tuhan
Pasti tahu cinta kita sejati
Lembah yang berwarna
Membentuk melekuk memeluk kita
Dua jiwa yang melebur jadi satu
Dalam kesunyian cinta
Cinta kita melukiskan sejarah
Menggelarkan cerita penuh suka cita
Sehingga siapa pun insan Tuhan
Pasti tahu cinta kita sejati
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------
Pahlawan Devisa Indonesia
Seperti yang kita ketahui bahwa saat ini banyak permasalahan mengenai TKI yang bekerja di negara lain salah satu kasusnya adalah hak asasi yang mereka dapatkan belum sepenuhnya memihak mereka. buktinya sampai sekarang masih banyak kasus penyiksaan yang menimpa TKI yang mengakibatan pelanggaran hak asasi terhadap para TKI. sudah banyak kasus penyiksaan yang menimpa para Tenaga Kerja Indonesia (TKI). Tidak terdapat perubahan atas berbagai kasus sebelumnya yang terjadi, justru belakangan kasus penyiksaan TKI semakin meningkat. Pemerintah seolah tidak belajar atas kesalahan-kesalahan dimana terjadinya kasus yang sama sebelumnya. Seakan-akan sudah merupakan hal yang lumrah apabila terjadinya penyiksaan TKI setiap tahun. Disebutkan sudah terdapat regulasi yang mengatur mengenai perlindungan atas penempatan TKI. Tetapi faktanya kasus-kasus yang sama tetap saja terjadi dan tidak grafiknya tidak menurun justru meningkat. Perlu dipertanyakan kinerja pemerintah dalam penanganan berbagai yang telah terjadi sebelumnya.
Yang menjadi pertanyaan adalah
Bagaimanakah tindakan pemerintah menangani kasus sebelumnya dan tindakan seharusnya dalam memberikan perlindungan hukum serta tindakan seharusnya menangani masalah yang terjadi saat ini?
Bagaimanakah ketentuan yang sah menurut hukum agar seseorang bisa menjadi sesorang buruh migran yang mendapat asuransi dan perlindungan hukum yang layak?Tenaga Kerja Indonesia (TKI) adalah setiap warga negara Indonesia yang memenuhi syarat untuk bekerja di luar negeri dalam hubungan kerja untuk jangka waktu tertentu dengan menerima upah. Pengertian merupakan defenisi yuridis mengenai TKI menurut Pasal 1 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Perlindungan dan Penempatan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri.
Sedangkan penempatan buruh migran dalam Pasal 1 angka (3) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 adalah kegiatan pelayanan untuk mempertemukan buruh migran sesuai bakat, minat, dan kemampuannya dengan pemberi kerja di luar negeri yang meliputi keseluruhan proses perekrutan, pengurusan dokumen, pendidikan dan pelatihan, penampungan, persiapan pemberangkatan, pemberangkatan sampai ke negara tujuan, dan pemulangan dari negara tujuan.
Dengan adanya undang-undang ini memberikan kewenangan pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam mengatur penempatan buruh migran. Dalam penempatan tersebut “ Setiap tenaga kerja mempunyai hak dan kesempatan yang sama untuk memilih, mendapatkan, atau pindah pekerjaan dan memperoleh penghasilan yang layak di dalam atau di luar negeri” sesuai Pasal 31 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tenang Ketenagakerjaan. Kemudian dalam Pasal 32 ayat (1) dan ayat (2) dijelaskan bahwa “Penempatan tenaga kerja dilaksanakan berdasarkan asas terbuka, bebas, obyektif, serta adil, dan setara tanpa diskriminasi. Penempatan tenaga kerja diarahkan untuk menempatkan tenaga kerja pada jabatan yang tepat sesuai dengan keahlian, keterampilan, bakat, minat, dan kemampuan dengan memperhatikan harkat, martabat, hak asasi, dan perlindungan hukum.”
Untuk menghindari ketidakamanan yang akan diderita oleh buruh migran (khususnya Pembantu Rumah Tangga) maka Pasal 4 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 menegaskan bahwa “Orang perseorangan dilarang menempatkan warga negara Indonesia untuk bekerja di luar negeri”. Dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 dinyatakan bahwa tujuan penempatan dan perlindungan calon buruh migran adalah:
1. memberdayakan dan mendayagunakan tenaga kerja secara optimal dan manusiawi;
2. menjamin dan melindungi calon buruh migran sejak di dalam negeri, di negara tujuan, sampai kembali ke
tempat asal di Indonesia;
3. meningkatkan kesejahteraan buruh migran dan keluarganya.
Dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 dinyatakan bahwa “Pemerintah bertugas mengatur, membina, melaksanakan, dan mengawasi penyelenggaraan penempatan dan perlindungan buruh migran di luar negeri.” Dan dalam Pasal 6 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 bahwa Pemerintah bertanggung jawab untuk meningkatkan upaya perlindungan buruh migran di luar negeri.
Demi menjamin perlindungan lebih lagi terdahad TKI diatur dalam Pasal 27 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 mengatur tentang penempatan buruh migran di luar negeri hanya dapat dilakukan ke negara tujuan yang pemerintahnya telah membuat perjanjian tertulis dengan Pemerintah Republik Indonesia atau ke negara tujuan yang mempunyai peraturan perundang-undangan yang melindungi tenaga kerja asing. Namun meskipun seperti itu, masih saja terdapat penganiayaan terhadap para buruh migran yang sudah jelas dan terang mendapat perlindungan hukum. Perlindungan tersebut dilakuakan dengan penyelengaraan keadilan dan ketertiban untuk mendatangkan kemakmuran dan kebahagiaan pada rakyat sesuai dengan tujuan negara menurut Prof. Subekti, S.H.
Perlindungan hukum terhadap para TKI juga sudah dimuat dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 menyatakan bahwa pemerintah berkewajiban:
1. menjamin terpenuhinya hak-hak calon TKI, baik yang berangkat melalui pelaksana penempatan TKI,
maupun yang berangkat secara mandiri;
2. mengawasi pelaksanaan penempatan calon TKI;
3. membentuk dan mengembangkan sistem informasi penempatan calon TKI di luar negeri;
4. melakukan upaya diplomatik untuk menjamin pemenuhan hak dan perlindungan TKI secara optimal di
negara tujuan; dan
5. memberikan perlindungan kepada TKI selama masa sebelum pemberangkatan, masa penempatan, dan masa purna penempatan.
Perlindungan bagi TKI yang bekerja di luar negeri diawali dan terintegrasi dalam setiap proses penempatan TKI, sejak proses rekrutmen, selama bekerja dan hingga pulang ke tanah air. Sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 77 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 bahwa setiap calon TKI mempunyai hak untuk memperoleh perlindungan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Perlindungan tersebut seperti tertuang dalam ayat (1) dilaksanakan mulai dari pra penempatan, masa penempatan, sampai dengan masa setelah penempatan.
Menurut pendapat saya, peraturan yang ada sudah bagus dan memadai bahkan dapat menyelesaikan masalah yang selama ini menghampiri TKI tetapi dalam pelaksanaannya belum diterapkan seutuhnya sehingga mengakibatkan berlarut-larutnya masalah tersebut bahkan dalam hal ini saya melihatnya dengan pandangan bahwa pemerintah mengabaikan hak warga negara Indonesia yang bekerja di luar wilayah Indonesia. peraturan sudah ada tetapi harus di iringi dengan pelaksanaan yang adil dan dilaksanakan sesuai peraturan yang berlaku sehingga negara kita terbebas dari permasalahn tersebut. pemerintah juga harus lebih tegas terhadap masalah-masalah tersebut sehingga dapat terselesaikan dengan baik.
kesimpulan : Berdasarkan fakta yang terjadi dilapangan dicari fakor- faktor penyebab terjadinya masalah dan alasan masalah justru semakin marak terjadi. Atas fakor permasalah yang ada digali dan dicari problem solving. Dalam hal ini juga dituntut peran serta dari masyarakat dalam pencari solusi. Tidak hanya berperan kritis dengan berbagai masalah yang terjadi tetapi juga memberikan kritik dan saran. Karena ketika pemerintah masyarakat bergandengantangan dalam penyelesaian masalah niscaya akan dicapai hasil yang maksimal dan tentu tidak akan merugikan salah satu pihak. Dengan ini juga membuka wawasan masyarakat dengan hukum positif di Indonesia terutama mengenai undang-undang yang mengatur tentang perlindungan dan penempatan TKI di luar negeri.
sumber : http://hukum.kompasiana.com/2010/12/15/perlindungan-hukum-terhadap-tenaga-kerja-indonesia-sektor-pembantu-rumah-tangga-di-luar-negeri-bagian-ii/
Peran pemuda dalam sosialisasi bermasyarakat
PEMUDA merupakan generasi penerus sebuah bangsa, kader bangsa, kader masyarakat dan kader keluarga. Pemuda selalu diidentikan dengan perubahan, betapa tidak peran pemuda dalam membangun bangsa ini, peran pemuda dalam menegakkan keadilan, peran pemuda yang menolak kekeuasaan.
Sejarah telah mencatat kiprah pemuda-pemuda yang tak kenal waktu yang selalu berjuang dengan penuh semangat biarpun jiwa raga menjadi taruhannya. Indonesia merdeka berkat pemuda-pemuda Indonesia yang berjuang seperti Ir. Sukarno, Moh. Hatta, Sutan Syahrir, Bung Tomo dan lain-lain dengan penuh mengorbankan dirinya untuk bangsa dan Negara.
Dalam sebuah pidatonya, Sukarno pernah mengorbakan semangat juang Pemuda apa kata Sukarno “Beri aku sepuluh pemuda, maka akan kugoncangkan dunia”. Begitu besar peranan pemuda di mata Sukarno, jika ada sembilan pemuda lagi maka Indonesia menjadi negara Super Power.
Satu tumpah darah, satu bangsa dan satu bahasa merupakan sumpah pemuda yang di ikrarkan pada tanggal 28 Oktober 1928. Begitu kompaknya pemuda Indonesia pada waktu itu, dan apakah semangat pemuda sekarang sudah mulai redup, seolah dalam kacamata negara dan masyarakat seolah-olah atau kesannya pemuda sekarang malu untuk mewarisi semangat nasionalisime. Hal tersebut di pengaruhi oleh Globalisasi yang penuh dengan tren.
Sukarno, Hatta, Syahrir seandainya mereka masih hidup pasti mereka menangis melihat semangat nasionalisme pemuda Indonesia sekarang yang selalu mementingkan kesenangan dan selalu mementikan diri sendiri.
Sekarang Pemuda lebih banyak melakukan peranan sebagai kelompok politik dan sedikit sekali yang melakukan peranan sebagai kelompok sosial, sehingga kemandirian pemuda sangat sulit berkembang dalam mengisi pembangunan ini.
Peranan pemuda dalam sosialisi bermasyrakat sungguh menurun dratis, dulu bisanya setiap ada kegiatan masyarakat seperti kerja bakti, acara-acara keagamaan, adat istiadat biasanya yang berperan aktif dalam menyukseskan acara tersebut adalah pemuda sekitar. Pemuda sekarang lebih suka dengan kesenangan, selalu bermain-main dan bahkan ketua RT/RW nya saja dia tidak tahu.
Kini pemuda pemudi kita lebih suka peranan di dunia maya ketimbang dunia nyata. Lebih suka nge Facebook, lebih suka aktif di mailing list, lebih suka di forum ketimbang duduk mufakat untuk kemajuan RT, RW, Kecamatan, Provinsi bahkan di tingkat lebih tinggi adalah Negara.
Selaku Pemuda kita dituntut aktif dalam kegiatan-kegiatan masyarakat, sosialisasi dengan warga sekitar. Kehadiran pemuda sangat dinantikan untuk menyokong perubahan dan pembaharuan bagi masyarakat dan negara. Aksi reformasi disemua bidang adalah agenda pemuda kearah masyarakat madani. Reformasi tidak mungkin dilakukan oleh orang tua dan anak-anak.
sumber : http://sosbud.kompasiana.com/2010/02/23/peranan-pemuda-dalam-sosialisasi-bermasyarakat/
Sejarah telah mencatat kiprah pemuda-pemuda yang tak kenal waktu yang selalu berjuang dengan penuh semangat biarpun jiwa raga menjadi taruhannya. Indonesia merdeka berkat pemuda-pemuda Indonesia yang berjuang seperti Ir. Sukarno, Moh. Hatta, Sutan Syahrir, Bung Tomo dan lain-lain dengan penuh mengorbankan dirinya untuk bangsa dan Negara.
Dalam sebuah pidatonya, Sukarno pernah mengorbakan semangat juang Pemuda apa kata Sukarno “Beri aku sepuluh pemuda, maka akan kugoncangkan dunia”. Begitu besar peranan pemuda di mata Sukarno, jika ada sembilan pemuda lagi maka Indonesia menjadi negara Super Power.
Satu tumpah darah, satu bangsa dan satu bahasa merupakan sumpah pemuda yang di ikrarkan pada tanggal 28 Oktober 1928. Begitu kompaknya pemuda Indonesia pada waktu itu, dan apakah semangat pemuda sekarang sudah mulai redup, seolah dalam kacamata negara dan masyarakat seolah-olah atau kesannya pemuda sekarang malu untuk mewarisi semangat nasionalisime. Hal tersebut di pengaruhi oleh Globalisasi yang penuh dengan tren.
Sukarno, Hatta, Syahrir seandainya mereka masih hidup pasti mereka menangis melihat semangat nasionalisme pemuda Indonesia sekarang yang selalu mementingkan kesenangan dan selalu mementikan diri sendiri.
Sekarang Pemuda lebih banyak melakukan peranan sebagai kelompok politik dan sedikit sekali yang melakukan peranan sebagai kelompok sosial, sehingga kemandirian pemuda sangat sulit berkembang dalam mengisi pembangunan ini.
Peranan pemuda dalam sosialisi bermasyrakat sungguh menurun dratis, dulu bisanya setiap ada kegiatan masyarakat seperti kerja bakti, acara-acara keagamaan, adat istiadat biasanya yang berperan aktif dalam menyukseskan acara tersebut adalah pemuda sekitar. Pemuda sekarang lebih suka dengan kesenangan, selalu bermain-main dan bahkan ketua RT/RW nya saja dia tidak tahu.
Kini pemuda pemudi kita lebih suka peranan di dunia maya ketimbang dunia nyata. Lebih suka nge Facebook, lebih suka aktif di mailing list, lebih suka di forum ketimbang duduk mufakat untuk kemajuan RT, RW, Kecamatan, Provinsi bahkan di tingkat lebih tinggi adalah Negara.
Selaku Pemuda kita dituntut aktif dalam kegiatan-kegiatan masyarakat, sosialisasi dengan warga sekitar. Kehadiran pemuda sangat dinantikan untuk menyokong perubahan dan pembaharuan bagi masyarakat dan negara. Aksi reformasi disemua bidang adalah agenda pemuda kearah masyarakat madani. Reformasi tidak mungkin dilakukan oleh orang tua dan anak-anak.
"Memang zamannya sudah beda, kita tidak bisa membandingkan dan mengharapkan pemuda sekarang akan melakukan hal yang sama seperti pemuda dulu. Mungkin semangat dan idealismenya sama, hanya cara mewujudkannya yang berbeda"
sumber : http://sosbud.kompasiana.com/2010/02/23/peranan-pemuda-dalam-sosialisasi-bermasyarakat/
Selasa, 15 Januari 2013
when the truth become an ugly truth
Sepertinya saat ini istilah " USAHA = HASIL " mulai diragukan, padahal duluuu, di tempat yang berbedaa, semua orang menyerukan kata-kata itu sebagai kata-kata motivasi. Sepertinya istilah " si bodoh vs si pintar " saat ini lebih populer dan dijadikan motivasi buat mereka, padahal jelas-jelas itu sesat.
Dimana-mana, dari jaman dulu juga, dari jamannya kita perang lawan belanda juga, kita diajarin kalau mau sukses, kalau mau berhasil ya harus berusaha. Tapi usahanya juga jangan melenceng, kalau usahanya melenceng apa bedanya sama korupsi ?
Pesan pertama : Hati-hati sama cerita motivasi yang bisa jadi malah bikin kita tersesat, terkadang berpikiran ortodoks itu lebih masuk akal dibanding pikiran fleksibel yang melenceng.
Pesan kedua : Pantesan saat ini marak kasus korupsi, wong mereka dari jaman sekolah juga udah diajarin korupsi sama lingkungannya, contohnyaaaa ?? Bisa anda simpulkan sendiri!
Dimana-mana, dari jaman dulu juga, dari jamannya kita perang lawan belanda juga, kita diajarin kalau mau sukses, kalau mau berhasil ya harus berusaha. Tapi usahanya juga jangan melenceng, kalau usahanya melenceng apa bedanya sama korupsi ?
Pesan pertama : Hati-hati sama cerita motivasi yang bisa jadi malah bikin kita tersesat, terkadang berpikiran ortodoks itu lebih masuk akal dibanding pikiran fleksibel yang melenceng.
Pesan kedua : Pantesan saat ini marak kasus korupsi, wong mereka dari jaman sekolah juga udah diajarin korupsi sama lingkungannya, contohnyaaaa ?? Bisa anda simpulkan sendiri!
Jumat, 11 Januari 2013
Learn from the eldest
Just for sharing...
Learned not only from school, but sometimes we could have a learned things in an unexpectable time. Like three story which I want to tell now, and there are a true story which heppened by me.
Cerita pertama :
Ini cerita gue waktu SMA kelas XII, seperti biasa kalo jam pulang sekolah suka pada ke bu goceng ( restoran depan smansa ) buat ngisi perut lagi. Gue dan temen-temen gue lagi duduk-duduk nungguin pesenan kita. Sembari duduk-duduk gue sama temen-temen cerita tentang kehidupan-kehidupan yang enak-enak, tentang gadget lah, tempat-tempat liburan, khayalan-khayalan tinggi lah. Nah beberapa saat kemudian dateng orang bertopi yang nawarin pulpen, dan yang gue lakuin adalah ....
Gue ga liat muka orang itu dan langsung nolak dia, karea apaa ? Karena buat apa beli pulpen lagi, secara tempat pensil gue udah kaya intermedia. Dan gue akuin itu adalah hal terbodoh selama hidup gue..
Reaksi temen-temen gue pas itu , ada yang merhatiin, ada yang mikir daaaan... beberapa detik kemudian... dua orang temen gue nyamperin orang itu. Dan dengan begonya gue masih diem aja dan cuma merhatiin, orang itu pun melepas topinya, daaaan..... saat itu juga hati gue kaya ditusuk-tusuk, mata gue kaya mau meledak air mata, gue merasa jadi orang paling acuh di dunia.
Jadi tuuuh, yang tadi nawarin pensil itu bapak-bapak udah tuaaaaa banget ( kita sebut saja aki-aki ), jadi aki-aki itu cuma bawa dua pack pulpen. Aki-aki itu jalan kaki buat nawarin pulpen ke anak-anak sekolah, buat apa ? Buat dia beli makan, buat dia bisa bertahan hidup, buat dia bisa bertahan lebih lama ngeliat dunia yang selama ini sering kali acuhin dia. Dan yang gue salutnya lagi, kan banyak tuh gue liat aki-aki yang mengemis di jalan, nah kalo ini tuh aki-aki nya hebat, dia gak mau minta-minta, dia juga gak bergantung sama orang lain, walaupun umurnya udah tua, dia masih mau berusaha kerja, seperti berjualan pulpen ini,
Memang sepele rasanya, hanya jualan pulpen, pulpen yang setiap hari ada di kehidupan kita, yang kalo ilang bisa kita langsung beli lagi, tapi buat orang lain? pulpen bisa jadi hidup mereka, dan yang dengan bodohnya gue acuhin itu semua.
Gak beberapa lama saat kejadian itu, gue sama temen-temen gue ngeborong pulpen itu, dengan harapan uang hasil jualan pulpen ai-aki tadi bisa bermanfaat buat aki-aki itu.
Cerita kedua :
Ini cerita saat gue udah duduk di bangku kuliah, jadi kan gue sama temen-temen sekelas lagi nunggu dosen selanjutnya buat masuk. Karena lumayan lama, kami melihat-lihatlah keadaan di luar kelas. Dan waktu gue sama temen gue liat keluar, gue liat ada dosen udah tuaaaaaaaaa, rambutnya ubanan, pake kemeja, bawa tas lumayan berat dan gue rasa itu berat, dan dosen itu senderan di tembok dengan tatapan sayu menatap ke depan kelas. Gue dan temen gue pun jadi terharu ngeliatnya, lalu gue masuk lagi ke dalam kelas.
Sekitar 15 menit kemudian dosen gue belom dateng juga, dan gue celingukan lagi keluar kelas, dan lo tauuuu ???? Dosen itu masih disituuuu, masih beridiri disituuu, masih senderan disituuuu, ga pindah tempat sama sekali, gue liat dua mulai mainin kakinya karena pegel. Dan saat itu juga mata gue merah, kepala gue langsung panas, gue ga tahan ngeliatnya, ga tegaaa, kasiaaan, terharuuu, saluuut, penasaraaan. Lho kok penasaran ? Ya iyalaaah penasaran, gue pengen tau kenapa dosen itu dari tadi gak masuk kelas dia.
Akhirnya gue dan temen gue memberanikan diri lewat depan dosen itu dan liat kelas yang dari tadi diliatin sama dia. Pas gue liat kelasnya, yaa emang sih masih ada dosen, tapi gak lama kemudian dosennya keluar. Gue dan temen gue pun lega ngeliatnya, kan kalo dosen di dalem kelas berarti dosen tua ini bisa langsug ngajar dan duduk di kursi. Tapi mendadak rasa lega itu ilang, dan berubah jadi perasaan jijik dan kesel. Bukan sama dosennya, tapi sama mahasiswanya. Tau kenapa ???????
Jadi pas dosen di dalem itu keluar, setengah dari mahasiswanya CABUT!! CABUT saudara-saudara. Dan ini cabutnya di depan mata dosen tua yang dari tadi udah nungguin sampe pegel-pegel itu sendiri. Ya Allaaaah, sumpaaaah! Itu mahasiswa pada gak punya hati apa, minimal punyaotak laaah. Sama sekali gak ada ngehargainnya sama sekali.
Dosen tua pun masuk ke dalam kelas dan duduk, gue sama temen gue ngintipin kelasnya, cuma ada kurang lebih 25 orangan gitu sih, parah banget kan. Dan gak lama kemudian, ada seorang mahasiswa, gendut, item, cowo, bawa rokok di tangannya, dia ngintip gitu dari depan pintu, dan bukannya masuk. Setelah ngintip dia malah CABUT !!! Sumpaaaaaah, saat itu juga gue sama temen gue ini langsung sumpah serapahin mahasiswa yang cabut tadi.
Gue salut banget sama dosen ini, biarpun udah tua dia masih on time, masih berudaha nunggu buat ngasih pelajaran, buat ngash ilmu ke mahasiswa dengan harapan mahasiswa bisa jadi tombak majunya bangsa, walaupun pada akhirnya dia di khianati sama harapannya sendiri. Ya itu, dengan mahasiswa-mahasiswa yang cabut itu, mereka bener-bener gak tau terima kasih, mereka ga tau apa kalo bikin guru sakit hati itu juga bisa berimbas buat merekanya sendiri.
Ini adalah quote dari teen gue dari twitter :
#Sebuah quote yang awalnya gak gue ngerti karena kata-kata 'mereka' nya itu ga tau tertuju ke siapa, tapi akhirnya gue ngerti. Bagus banget nih quote, kita bakalan ngerti sendiri quote ini kalo kita udah jadi rang yang punya pemikiran yang dewasa.
Cerita ketiga :
Cerita ini terjadi hari ini, tanggal 11-Januari-2013, disaat gue jemput nyokap gue pulang kerja di simpangan depok. Jadi tuh gue nungguin nyokap gue di depan alfamart simpangan, ternyata nyokap gue belom dateng. Akhirnya gue celingak celingukan liat ke sekelilin gue, ada yang lagi nungguin orang juga, ada yang lagi jualan sesuatu, dan ada yang belinya jugaa, ada yang lalu lalang mobil dan motor, daan tiba-tiba mata gue tertuju pada aki-aki yang duduk sekitar dua meter dari motor gue.
Aki-aki itu lagi jualan rambutan, gue liat rambutannya masih banyak, ada sekitar 1,5 kranjang lagi, dan ini udah jam 8 malam, gue mikir siapa lagi yang mau beli malem-malem gini. Aki-aki itu ketiduran gitu, kayanya dia kecapean deh ngejajakin rambutannya.
Gue nungguin nyokap gue kan lumayan lama tuh, dan selama itu juga gak ada orang yang sama sekali beli rambutan itu, bahkan ngeliat pun gak ada. Coba ? Gimana ga tambah iba coba.
Dan lagi-lagi ini adalah kondisi yang mengharukan, dan untuk kesekian kalinya lagi gue salut sama aki-aki. Sama seperti cerita pertama, aki-aki ini tuh gak bergantung dengan orang lain, dia masih berusaha untuk bertahan hidup denga usahanya sendiri dengan berjualan apapun. Dan ini bisa jadi motivasi buat gue pribadi sebagai anak muda, untuk gak pernah berhenti berusaha walaupun digerogoti umur.
There are three stories that I had been looked by myself, emang sih selama ini kita sering kali menyepelekan umur yang tua. Dan dari cerita ini bisa menjebol pikiran kita yang masih kolot seperti itu. Semoga cerita ini bermanfaat.
Learned not only from school, but sometimes we could have a learned things in an unexpectable time. Like three story which I want to tell now, and there are a true story which heppened by me.
Cerita pertama :
Ini cerita gue waktu SMA kelas XII, seperti biasa kalo jam pulang sekolah suka pada ke bu goceng ( restoran depan smansa ) buat ngisi perut lagi. Gue dan temen-temen gue lagi duduk-duduk nungguin pesenan kita. Sembari duduk-duduk gue sama temen-temen cerita tentang kehidupan-kehidupan yang enak-enak, tentang gadget lah, tempat-tempat liburan, khayalan-khayalan tinggi lah. Nah beberapa saat kemudian dateng orang bertopi yang nawarin pulpen, dan yang gue lakuin adalah ....
Gue ga liat muka orang itu dan langsung nolak dia, karea apaa ? Karena buat apa beli pulpen lagi, secara tempat pensil gue udah kaya intermedia. Dan gue akuin itu adalah hal terbodoh selama hidup gue..
Reaksi temen-temen gue pas itu , ada yang merhatiin, ada yang mikir daaaan... beberapa detik kemudian... dua orang temen gue nyamperin orang itu. Dan dengan begonya gue masih diem aja dan cuma merhatiin, orang itu pun melepas topinya, daaaan..... saat itu juga hati gue kaya ditusuk-tusuk, mata gue kaya mau meledak air mata, gue merasa jadi orang paling acuh di dunia.
Jadi tuuuh, yang tadi nawarin pensil itu bapak-bapak udah tuaaaaa banget ( kita sebut saja aki-aki ), jadi aki-aki itu cuma bawa dua pack pulpen. Aki-aki itu jalan kaki buat nawarin pulpen ke anak-anak sekolah, buat apa ? Buat dia beli makan, buat dia bisa bertahan hidup, buat dia bisa bertahan lebih lama ngeliat dunia yang selama ini sering kali acuhin dia. Dan yang gue salutnya lagi, kan banyak tuh gue liat aki-aki yang mengemis di jalan, nah kalo ini tuh aki-aki nya hebat, dia gak mau minta-minta, dia juga gak bergantung sama orang lain, walaupun umurnya udah tua, dia masih mau berusaha kerja, seperti berjualan pulpen ini,
Memang sepele rasanya, hanya jualan pulpen, pulpen yang setiap hari ada di kehidupan kita, yang kalo ilang bisa kita langsung beli lagi, tapi buat orang lain? pulpen bisa jadi hidup mereka, dan yang dengan bodohnya gue acuhin itu semua.
Gak beberapa lama saat kejadian itu, gue sama temen-temen gue ngeborong pulpen itu, dengan harapan uang hasil jualan pulpen ai-aki tadi bisa bermanfaat buat aki-aki itu.
Cerita kedua :
Ini cerita saat gue udah duduk di bangku kuliah, jadi kan gue sama temen-temen sekelas lagi nunggu dosen selanjutnya buat masuk. Karena lumayan lama, kami melihat-lihatlah keadaan di luar kelas. Dan waktu gue sama temen gue liat keluar, gue liat ada dosen udah tuaaaaaaaaa, rambutnya ubanan, pake kemeja, bawa tas lumayan berat dan gue rasa itu berat, dan dosen itu senderan di tembok dengan tatapan sayu menatap ke depan kelas. Gue dan temen gue pun jadi terharu ngeliatnya, lalu gue masuk lagi ke dalam kelas.
Sekitar 15 menit kemudian dosen gue belom dateng juga, dan gue celingukan lagi keluar kelas, dan lo tauuuu ???? Dosen itu masih disituuuu, masih beridiri disituuu, masih senderan disituuuu, ga pindah tempat sama sekali, gue liat dua mulai mainin kakinya karena pegel. Dan saat itu juga mata gue merah, kepala gue langsung panas, gue ga tahan ngeliatnya, ga tegaaa, kasiaaan, terharuuu, saluuut, penasaraaan. Lho kok penasaran ? Ya iyalaaah penasaran, gue pengen tau kenapa dosen itu dari tadi gak masuk kelas dia.
Akhirnya gue dan temen gue memberanikan diri lewat depan dosen itu dan liat kelas yang dari tadi diliatin sama dia. Pas gue liat kelasnya, yaa emang sih masih ada dosen, tapi gak lama kemudian dosennya keluar. Gue dan temen gue pun lega ngeliatnya, kan kalo dosen di dalem kelas berarti dosen tua ini bisa langsug ngajar dan duduk di kursi. Tapi mendadak rasa lega itu ilang, dan berubah jadi perasaan jijik dan kesel. Bukan sama dosennya, tapi sama mahasiswanya. Tau kenapa ???????
Jadi pas dosen di dalem itu keluar, setengah dari mahasiswanya CABUT!! CABUT saudara-saudara. Dan ini cabutnya di depan mata dosen tua yang dari tadi udah nungguin sampe pegel-pegel itu sendiri. Ya Allaaaah, sumpaaaah! Itu mahasiswa pada gak punya hati apa, minimal punyaotak laaah. Sama sekali gak ada ngehargainnya sama sekali.
Dosen tua pun masuk ke dalam kelas dan duduk, gue sama temen gue ngintipin kelasnya, cuma ada kurang lebih 25 orangan gitu sih, parah banget kan. Dan gak lama kemudian, ada seorang mahasiswa, gendut, item, cowo, bawa rokok di tangannya, dia ngintip gitu dari depan pintu, dan bukannya masuk. Setelah ngintip dia malah CABUT !!! Sumpaaaaaah, saat itu juga gue sama temen gue ini langsung sumpah serapahin mahasiswa yang cabut tadi.
Gue salut banget sama dosen ini, biarpun udah tua dia masih on time, masih berudaha nunggu buat ngasih pelajaran, buat ngash ilmu ke mahasiswa dengan harapan mahasiswa bisa jadi tombak majunya bangsa, walaupun pada akhirnya dia di khianati sama harapannya sendiri. Ya itu, dengan mahasiswa-mahasiswa yang cabut itu, mereka bener-bener gak tau terima kasih, mereka ga tau apa kalo bikin guru sakit hati itu juga bisa berimbas buat merekanya sendiri.
Ini adalah quote dari teen gue dari twitter :
" Terkadang mereka itu memang dibenci, tapi mereka tidak tahu bahwa yang sebenarnya yang mereka benci adalah pembawa kesuksesan untuk diri mereka sendiri "
#Sebuah quote yang awalnya gak gue ngerti karena kata-kata 'mereka' nya itu ga tau tertuju ke siapa, tapi akhirnya gue ngerti. Bagus banget nih quote, kita bakalan ngerti sendiri quote ini kalo kita udah jadi rang yang punya pemikiran yang dewasa.
Cerita ketiga :
Cerita ini terjadi hari ini, tanggal 11-Januari-2013, disaat gue jemput nyokap gue pulang kerja di simpangan depok. Jadi tuh gue nungguin nyokap gue di depan alfamart simpangan, ternyata nyokap gue belom dateng. Akhirnya gue celingak celingukan liat ke sekelilin gue, ada yang lagi nungguin orang juga, ada yang lagi jualan sesuatu, dan ada yang belinya jugaa, ada yang lalu lalang mobil dan motor, daan tiba-tiba mata gue tertuju pada aki-aki yang duduk sekitar dua meter dari motor gue.
Aki-aki itu lagi jualan rambutan, gue liat rambutannya masih banyak, ada sekitar 1,5 kranjang lagi, dan ini udah jam 8 malam, gue mikir siapa lagi yang mau beli malem-malem gini. Aki-aki itu ketiduran gitu, kayanya dia kecapean deh ngejajakin rambutannya.
Gue nungguin nyokap gue kan lumayan lama tuh, dan selama itu juga gak ada orang yang sama sekali beli rambutan itu, bahkan ngeliat pun gak ada. Coba ? Gimana ga tambah iba coba.
Dan lagi-lagi ini adalah kondisi yang mengharukan, dan untuk kesekian kalinya lagi gue salut sama aki-aki. Sama seperti cerita pertama, aki-aki ini tuh gak bergantung dengan orang lain, dia masih berusaha untuk bertahan hidup denga usahanya sendiri dengan berjualan apapun. Dan ini bisa jadi motivasi buat gue pribadi sebagai anak muda, untuk gak pernah berhenti berusaha walaupun digerogoti umur.
There are three stories that I had been looked by myself, emang sih selama ini kita sering kali menyepelekan umur yang tua. Dan dari cerita ini bisa menjebol pikiran kita yang masih kolot seperti itu. Semoga cerita ini bermanfaat.
Kamis, 10 Januari 2013
I Got A Boy - SNSD
Ayo! GG!
Yeah Yeah shijakhae bolkka?
Omo! Yaejom bwara yae
Museun iri isseot gillae meoril jallat dae? Uh?
Omo! Tto yaejom borago!
Meori buteo balkkeut kkaji seutaili bakkwo eosseo
Wae geuraet dae?
Gung geumhae jukget ne
Wae geuraet dae?
Malhae bwabwa jom
Ha Ha! Hey, let me introduce myself!
Here comes trouble! Whoo! Ttarahae!
Oh!
Oh Oh Eh Oh (Eh Eh Eh Eh)
Oh Oh Eh Oh (Oh Oh Oh Oh)
Neo jal nasseo jeongmal!
Jiga mwonde? Utgyeo, neomu kotdae
Sengeo ani? Na bogo pyongbeom hadanda yae
Oh~ Geu namja wanjeon mame deureot na bwa!
Maldo andwae! Maldo andwae!
Neomu yeppeo jigo sexy hae jyeosseo
Geu namja ttaemun iji?
Mureo bol ppeon haetda nikka? Neo bakkun
Hwajang pumi mwonji
Sashil na, cheoeum bwasseo
Sangcheo ibeun yasu gateun gipeun nun
Yaegi manhae do eojil haetda nikka?
Neo jal nasseo jeongmal! Jal nasseo jeongmal!
Oh! (Here comes trouble!)
Oh Oh Eh Oh (Hey Girl, Listen!)
Oh Oh Eh Oh
Neo jalnat da jeongmal! (Jal nasseo)
Oh!
Oh Oh Eh Oh (Oh Oh Eh Oh, Hey)
Oh Oh Eh Oh (Na na na na, Hey!)
Neo jalnat da jeongmal!
Ayo! Stop!
Let me put it down another way.
I got a boy meotjin!
I got a boy chakhan!
I got a boy, handsome boy
Naemam da gajyeo gan
I got a boy meotjin! (Ha ha ha!)
I got a boy chakhan! (Yeah!)
I got a boy, awesome boy
Wanjeon banhaet na bwa
Ah nae wangjanim!
Eonje i momeul guhareo wa jushil ten gayo?
Hayan kkum cheoreom
Nal pume ana ollyeo nara ga jushi getjyo?
Na kkamjjak! Men bungiya!
Geu sarameun naemin nachi gung geum hadae
Wanjeon mame deureo
Mot igin cheok boyeojwo do gwaenchaneulkka?
Oh! Jeoldaero andweji! [Yu/Yoo] Geuchi? Geuchi?
Uri jikil geon jiki ja! [Yu/Yoo] Majji! Majji!
Geuye mameul modu gajil ttae kkaji
Igeon jeoldaero ijeo beoriji mallago!
Oh!
Oh Oh Eh Oh
Oh Oh Eh Oh
Bameul saedo mojara da da
Oh!
Oh Oh Eh Oh
Oh Oh Eh Oh
Uri chwego gwanshim sa da da
Naemal deureobwa geu ai neo ne alji?
Jom eori jiman sogeun kkwak chasseo
Eotteol ttaen oppa cheoreom deumjik hajiman
Aegyo reul buril ttaen, neomu yeppeo jukgesseo
Oh!
Oh Oh Eh Oh
Oh Oh Eh Oh
Neo michyeosseo michyeosseo
Oh!
Oh Oh Eh Oh
Oh Oh Eh Oh
Neo michyeosseo michyeosseo
Nan jeongmal hwaga na jukgesseo
Nae namjan nal yeojaro anboneun geol
Magyeon halttaen eotteok hamyeon naega johgetni?
Jiturado nage haebolkka?
Soksanghae! Eotteokhae! Na?
Maldo andwae! Maldo andwae!
Don’t stop!
Let’s bring it back to 140
I got a boy meotjin! (Whoo!)
I got a boy chakhan! (Come on!)
I got a boy, handsome boy (That’s right!)
Naemam da gajyeo gan (Let’s go!)
I got a boy meotjin! (Whoo!)
I got a boy chakhan! (Let me hear it!)
I got a boy, awesome boy (Let’s go!)
Wanjeon banhaet na bwa
Eonjena nae gyeoten
Nae pyeoni dwaejugo
Kwigi ul yeoju neun neo Oh Oh Oh Neo Oh Oh Oh
Nan idaero jigeum haengbokhae Ja dwel geonikka
I got a boy meotjin!
I got a boy chakhan!
I got a boy, handsome boy
Naemam da gajyeo gan
(Ah nae wangjanim!
Eonje i momeul guhareo wa jushil ten gayo?)
I got a boy meotjin!
I got a boy chakhan!
I got a boy, awesome boy
Wanjeon banhaet na bwa
(Hayan kkum cheoreom
Nal pume ana ollyeo nara ga jushi getjyo?)
I got a boy meotjin!
I got a boy chakhan!
I got a boy, handsome boy
Naemam da gajyeo gan
(Oh!
Oh Oh Eh Oh
Oh Oh Eh Oh)
I got a boy meotjin!
I got a boy chakhan!
I got a boy, awesome boy
Wanjeon banhaet na bwa
(Oh!
Oh Oh Eh Oh
Oh Oh Eh Oh)
I got a boy meotjin!
Yeah Yeah shijakhae bolkka?
Omo! Yaejom bwara yae
Museun iri isseot gillae meoril jallat dae? Uh?
Omo! Tto yaejom borago!
Meori buteo balkkeut kkaji seutaili bakkwo eosseo
Wae geuraet dae?
Gung geumhae jukget ne
Wae geuraet dae?
Malhae bwabwa jom
Ha Ha! Hey, let me introduce myself!
Here comes trouble! Whoo! Ttarahae!
Oh!
Oh Oh Eh Oh (Eh Eh Eh Eh)
Oh Oh Eh Oh (Oh Oh Oh Oh)
Neo jal nasseo jeongmal!
Jiga mwonde? Utgyeo, neomu kotdae
Sengeo ani? Na bogo pyongbeom hadanda yae
Oh~ Geu namja wanjeon mame deureot na bwa!
Maldo andwae! Maldo andwae!
Neomu yeppeo jigo sexy hae jyeosseo
Geu namja ttaemun iji?
Mureo bol ppeon haetda nikka? Neo bakkun
Hwajang pumi mwonji
Sashil na, cheoeum bwasseo
Sangcheo ibeun yasu gateun gipeun nun
Yaegi manhae do eojil haetda nikka?
Neo jal nasseo jeongmal! Jal nasseo jeongmal!
Oh! (Here comes trouble!)
Oh Oh Eh Oh (Hey Girl, Listen!)
Oh Oh Eh Oh
Neo jalnat da jeongmal! (Jal nasseo)
Oh!
Oh Oh Eh Oh (Oh Oh Eh Oh, Hey)
Oh Oh Eh Oh (Na na na na, Hey!)
Neo jalnat da jeongmal!
Ayo! Stop!
Let me put it down another way.
I got a boy meotjin!
I got a boy chakhan!
I got a boy, handsome boy
Naemam da gajyeo gan
I got a boy meotjin! (Ha ha ha!)
I got a boy chakhan! (Yeah!)
I got a boy, awesome boy
Wanjeon banhaet na bwa
Ah nae wangjanim!
Eonje i momeul guhareo wa jushil ten gayo?
Hayan kkum cheoreom
Nal pume ana ollyeo nara ga jushi getjyo?
Na kkamjjak! Men bungiya!
Geu sarameun naemin nachi gung geum hadae
Wanjeon mame deureo
Mot igin cheok boyeojwo do gwaenchaneulkka?
Oh! Jeoldaero andweji! [Yu/Yoo] Geuchi? Geuchi?
Uri jikil geon jiki ja! [Yu/Yoo] Majji! Majji!
Geuye mameul modu gajil ttae kkaji
Igeon jeoldaero ijeo beoriji mallago!
Oh!
Oh Oh Eh Oh
Oh Oh Eh Oh
Bameul saedo mojara da da
Oh!
Oh Oh Eh Oh
Oh Oh Eh Oh
Uri chwego gwanshim sa da da
Naemal deureobwa geu ai neo ne alji?
Jom eori jiman sogeun kkwak chasseo
Eotteol ttaen oppa cheoreom deumjik hajiman
Aegyo reul buril ttaen, neomu yeppeo jukgesseo
Oh!
Oh Oh Eh Oh
Oh Oh Eh Oh
Neo michyeosseo michyeosseo
Oh!
Oh Oh Eh Oh
Oh Oh Eh Oh
Neo michyeosseo michyeosseo
Nan jeongmal hwaga na jukgesseo
Nae namjan nal yeojaro anboneun geol
Magyeon halttaen eotteok hamyeon naega johgetni?
Jiturado nage haebolkka?
Soksanghae! Eotteokhae! Na?
Maldo andwae! Maldo andwae!
Don’t stop!
Let’s bring it back to 140
I got a boy meotjin! (Whoo!)
I got a boy chakhan! (Come on!)
I got a boy, handsome boy (That’s right!)
Naemam da gajyeo gan (Let’s go!)
I got a boy meotjin! (Whoo!)
I got a boy chakhan! (Let me hear it!)
I got a boy, awesome boy (Let’s go!)
Wanjeon banhaet na bwa
Eonjena nae gyeoten
Nae pyeoni dwaejugo
Kwigi ul yeoju neun neo Oh Oh Oh Neo Oh Oh Oh
Nan idaero jigeum haengbokhae Ja dwel geonikka
I got a boy meotjin!
I got a boy chakhan!
I got a boy, handsome boy
Naemam da gajyeo gan
(Ah nae wangjanim!
Eonje i momeul guhareo wa jushil ten gayo?)
I got a boy meotjin!
I got a boy chakhan!
I got a boy, awesome boy
Wanjeon banhaet na bwa
(Hayan kkum cheoreom
Nal pume ana ollyeo nara ga jushi getjyo?)
I got a boy meotjin!
I got a boy chakhan!
I got a boy, handsome boy
Naemam da gajyeo gan
(Oh!
Oh Oh Eh Oh
Oh Oh Eh Oh)
I got a boy meotjin!
I got a boy chakhan!
I got a boy, awesome boy
Wanjeon banhaet na bwa
(Oh!
Oh Oh Eh Oh
Oh Oh Eh Oh)
I got a boy meotjin!
Langganan:
Postingan (Atom)